Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian ESDM menyatakan belum ada pengekspor bijih nikel dan bauksit yang dikenakan sanksi finansial terkait progres pembangunan smelter.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Bambang Susigit mengatakan pihaknya masih melakukan evaluasi untuk beberapa perusahaan yang mengekspor dua komoditas tersebut. Pemerintah akan mencocokkan realisasi pembangunan fisik smelter dengan rencana kerja yang telah diserahkan sebelumnya.
"Belum ada. Sanksi finansial berlaku hanya untuk ekspor yang dilakukan setelah Permen ESDM No. 25/2018," katanya, Senin (9/7/2018).
Adapun pemerintah menerapkan sanksi finansial bagi eksportir mineral mentah dan konsentrat yang tidak mencapai target pembangunan smelter dari rencana kemajuan fisik yang dievaluasi per enam bulan.
Dalam Permen ESDM No. 25/2018 pasal 55 ayat 8, sanksi tersebut berupa denda 20% dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri.
Persentase tersebut lebih besar dari kajian awal Kementerian ESDM yang pertama kali disampaikan pada akhir November 2017. Kala itu, besaran denda direncanakan sebesar 10% saja.
Sebelumnya, PT Antam Tbk. menyatakan kebijakan penerapan sanksi finansial tersebut sudah tepat. Pasalnya, hal tersebut akan mendorong perusahaan untuk serius dalam membangun smelter.
"Saya rasa [sanksi finansial] sudah tepat," tutur Arie Prabowo Ariotedjo, Direktur Utama Antam.
Adapun Antam menjadi salah satu perusahaan yang mengekspor bijih nikel kadar rendah. Smelter yang dipakai sebagai dasar pemberian rekomendasi ekspor tersebut adalah smelter feronikel di Halmahera Timur yang saat ini tengah dalam proses pembangunan.
Arie menyatakan pembangunan smelter tersebut berjalan sesuai rencana. Dengan demikian, Antam tidak merasa khawatir dengan adanya sanksi finansial.