Bisnisc.om, JAKARTA — Pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini yang mencapai 6%, rupanya belum memberikan daya dorong yang kuat bagi aktivitas ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, dari sisi volume dan nilai ekspor produk TPT mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, kenaikan tersebut dinilainya belum terlalu signifikan lantaran tingginya biaya operasional perusahaan karena didominasi oleh penggunaan mata uang dolar AS.
“Impor sejumlah bahan baku penolong, lalu transportasi ekspor-impor dan bahan bakar energi masih kami bayar menggunakan dolar AS. Akibatnya ketika rupiah tertekan, kami juga harus terbebani dari sisi biaya operasional,” ujar Ade, Minggu (8/7/2018).
Dia menyebutkan, penggunaan dolar AS perusahaan di industri TPT mencapai 80% dari total biaya operasional. Di sisi lain, dia juga menyoroti masih belum mumpuninya industri dalam negeri untuk menyediakan kebutuhan bahan baku industri TPT. Akibatnya, ketergantungan industri tersebut terhadap impor bahan baku masih cukup tinggi.
Ade melanjutkan, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat diantisipasi dengan penguatan insentif dan kebijakan bagi industri berbasis ekspor. Menurutnya, pemerintah masih setengah hati untuk menjadikan industri berbasis ekspor sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
“Kepastian berbisnis memang naik, tetapi fokus untuk mendongkrak ekspor masih rendah. Energi pemerintah lebih banyak dihabiskan untuk kepentingan politik,” ujarnya.
Seperti diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor pakaian jadi sepanjang Januari-Mei 2018 naik 11,78% atau US$197,683 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, serat dan benang tumbuh 55,91% atau tumbuh US$1,665 juta.