Bisnis.com, JAKARTA -- Komite Nasional Keselamatan Transportasi mendukung gagasan untuk mengaudit angkutan penyeberangan, termasuk kapal feri, seiring maraknya kasus kecelakaan laut yang kerap melibatkan moda transportasi itu.
Ketua KNKT Soerjanto mengatakan audit dilakukan untuk mengetahui problem angkutan penyeberangan secara menyeluruh, untuk kemudian diperbaiki.
"Feri ini unik. Dibenci dan dibutuhkan, dibenci dan dirindu. Kalau ada, begitulah kondisinya. Tapi kalau enggak ada, harus seperti apa kondisinya. Ini yang perlu kita perbaiki ke depannya," katanya saat dihubungi, Selasa (3/7/2018).
Presiden Joko Widodo sebelumnya memerintahkan agar seluruh angkutan penyeberangan dievaluasi sebagai respons atas kasus KM Sinar Bangun yang tenggelam di perairan Danau Toba.
KNKT sebenarnya telah menyampaikan sejumlah rekomendasi setelah terjadi kasus kecelakaan beruntun belakangan ini. Selama hampir 7 bulan berjalan tahun ini saja, KNKT sudah menyelidiki 28 kasus kecelakaan kapal yang sering melibatkan kapal roll on-roll of (ro-ro).
Setelah mengevaluasi kasus kebakaran, seperti yang menimpa KMP Ro-Ro Paray rute pelabuhan Jagoh-Penarik, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, KNKT merekomendasikan agar dibentuk semacam regulated agent (RA).
Seperti kargo udara, barang-barang yang diangkut oleh kapal feri harus diperiksa untuk memastikan barang itu tidak berbahaya. Kalaupun berbahaya, perlu ada ketentuan untuk mengemas dan mengangkutnya atau semacam material safety data sheet (MSDS).
"Truk-truk yang masuk ke kapal ro-ro biasanya sopirnya tidak tahu barang apa yg diangkut karena sopir bawa truk ke agen, agen yang numpuk berapa puluh barang. Sudah penuh satu truk, kemudian dibawa ke Balikpapan, Banjarmasin. Tahu-tahu di tengah laut truknya terbakar, kapalnya terbakar," tutur Soerjanto.
Kelaikan kapal, lanjut dia, juga tidak bisa menjadi satu-satunya landasan. Nakhoda harus mampu meneropong kondisi laut (sea state) dan memperhitungkannya dengan stabilitas dan konstruksi lambung kapal. Menurut Soerjanto, di sinilah kelaikan kapal harus diimbangi dengan kelaikan sumber daya manusia dan cuaca. Dengan demikian, kasus KM Lestari Maju yang mengalami kebocoran lambung akibat cuaca buruk tak perlu terjadi.
"Kapal yang laik belum tentu laik laut juga," katanya.
"Kalau sesuai kelasnya mampu berlayar di sea state 5, ya harus di sea state 5. Kalau nakhoda sampai di sea state 6 atau 7, ya salah nakhodanya kenapa enggak bisa lihat ramalan cuaca."
Soal dualisme kelembagaan angkutan penyeberangan --sisi bisnis diatur oleh Ditjen Perhubungan Darat, sedangkan di sisi keselamatan diatur oleh Ditjen Perhubungan Laut-- KNKT sejauh ini cenderung berpendapat agar urusan yang menyangkut kapal laut dilimpahkan kepada Ditjen Perhubungan Laut.
"Tapi, sebelum saya mengatakan itu, kami harus teliti dulu regulasi-regulasi yang berlaku seperti apa, tumpang-tindihnya seperti apa. Kami akan hati-hati," ujar Soerjanto.