Bisnis.com, JAKARTA – Meningkatnya impor bahan baku dan barang modal dinilai sebagai ketidakmampuan industri hulu dalam untuk mencukupi kebutuhan industri manufaktur.
Sehingga peningkatan konsumsi yang memuntut kinerja industri makin signifikan tidak memberikan pilihan selain impor.
"Impor bahan baku dan barang modal bagus, hanya saja lebih bagus lain kalau kita bisa mencukupinya dari dalam negeri," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat kepada Bisnis.com, Minggu (1/7/2018).
Dia menjelaskan, peningkatan impor kali ini bukan disebabkan oleh peningkatan ekspor, melainkan oleh peningkatan konsumsi dalam negeri. Sehingga hal tersebut menuntut pelaku industri menjawabnya dengan peningkatan impor.
Alhasil, dia memperkirakan, surplus neraca perdagangan pada tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mencapai US$4,7 juta tahun lalu, turun hingga US$3,9 juta pada tahun ini.
Di sisi lain, Ade mengatakan, walau bagaimapun, peningkatan impor seharusnya tidak menjadi sebuah posisi yang harus dibanggakan. "Karena kita harusnya itu ekspor, apapun produknya harus ekspor," ujarnya.
Untuk meningkatkan ekspor, dia berharap, pemerintah lebih serius dalam perbaikan koordinasi internal, yang mana sangat berhubungan dengan proses perizinan berusaha. Selain itu, perusahaan logistik plat merah juga harus lebih menekankan pelayanan, ketimbang berbisnis dengan pelaku usaha.
"[Dengan demikian], pelaku usaha bisa terbantu bisnisnya, negara dapat cadangan devisa, dan penciptaan lapangan kerja lebih banyak," tutupnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku/penolong dan barang modal secara kumulatif Januari—Mei mencapai masig-masing US$57,96 miliar dan US$12,63 miliar, atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu senilai US$47,27 miliar dan US$9,44 miliar.