Bisnis.com, JAKARTA — Produsen bahan baku tekstil dan produk tekstil meresahkan penurunan permintaan pasar domestik untuk kebutuhan ekspor akibat gempuran barang impor.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menjelaskan selama ini barang tekstil dan produk tekstil (TPT) yang berorientasi ekspor lebih banyak menggunakan bahan baku impor.
Akibatnya, permintaan bahan baku TPT kian tergerus. Dia menjabarkan penjualan bahan baku TPT buatan lokal pada Mei—Juni 2018 turun sebesar 15%, karena produsen TPT tidak berani menambah pasokan bahan baku untuk memacu produksi.
Menurutnya, saat ini produksi kain tenun dan rajutan di Indonesia masih menahan produksinya karena melihat banyaknya kain jadi impor yang menumpuk di Pusat Logistik Berikat (PLB).
“[Sebanyak] 60% [produk TPT] yang diimpor merupakan kain, sedangkan 40% merupakan pakaian jadi, benang, dan serat sehingga produsen kain, benang, dan serat sulit menjual di pasar domestik,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (28/6/2018).
APSyFI mengaku sudah menyampaikan keresahannya secara tertulis kepada Menteri Perdagangan dan kementerian terkait perekonomian sebelum Lebaran. Namun, hingga kini belum ada jawaban atas keluhan tersebut.
Redma menilai kenaikan ekspor saat ini di sektor tekstil dan barang rajutan tidak signifikan jika dibandingkan dengan nilai impor untuk barang yang sama. Bahkan, tingkat utilitas produsen kain masih di bawah 50%. Padahal, bahan baku TPT sebenarnya bisa dipasok di dalam negeri.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor produk TPT secara kumulatif 2018 naik 7,9%, sedangkan impornya tumbuh 19,5%.
“Pemerintah harus segera membenahi kebijakan perdagangannya, karena selama ini memang dikenal sangat pro importir, kebijakan di Pusat Logistik Berikat (PLB) dan Permendag 64/2017 adalah salah satunya,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan impor bahan baku termasuk garmen dan tekstil biasanya telah ditentukan oleh pembeli di pasar global.
Dalam kesepakatannya, negara pengimpor akan memasok komoditas yang diperlukan dengan syarat bahan baku harus diambil dari negara tertentu atau perusahaan tertentu. Hal ini sudah disepakati antara negara pengimpor dengan produsen bahan balu luar negeri.
Ade menuturkan para pembeli luar negeri sudah memberikan syarat agar produk yang dihasilkan sesuai dengan keinginan para pembeli.
"Mereka sudah memiliki kesepakatan khusus. Ada kesepakatan termasuk untuk kualitas yang sudah memenuhi standar," tuturnya.
Di samping itu, lanjutnya, produk bahan baku dari dalam negeri sulit digunakan oleh produsen garmen. Pasalnya, hal itu akan menambah biaya pajak. Sementara produk impor yang ditujukan untuk ekspor, tidak dikenai biaya tambahan termasuk pajak.
Dia menjelaskan selama ini pemerintah keliru dalam memberikan proteksi pada produk hulu. Hal ini membuat pemasokan bahan baku sulit dilakukan. Dia berharap pemerintah dapat mencari solusi agar antara industri hulu dan hilir tidak diperberat sehingga menyulitkan upaya efisiensi.
"Kalau misalnya industri hulu diproteksi, maka produsen akan jual lebih mahal sehingga produk dalam negeri ikut naik. Kenaikan impor karena impor kain lebih murah," katanya.