Bisnis.com, JAKARTA -- Perlambatan pertumbuhan utang valuta asing yang terjadi sejak awal tahun ini merupakan indikasi mencuatnya kekhawatiran atas pergerakan nilai tukar.
Secara umum, Utang Luar Negeri (ULN) swasta dan pemerintah menunjukkan perlambatan sejak Maret 2018.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan ULN Indonesia tumbuh 7,6% secara year-on-year (yoy) pada akhir April 2018 atau melambat dibandingkan dengan 8,8% yoy pada bulan sebelumnya.
Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menuturkan perlambatan ini memang menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap risiko utang valuta asing (valas) di tengah kondisi nilai tukar rupiah yang fluktuatif.
"Dengan tekanan rupiah seperti sekarang kalau nekad pinjam [valas], apalagi swasta pendapatannya rupiah, risikonya besar," ungkapnya kepada Bisnis, Kamis (21/6/2018).
Menurut Lana, risiko serupa sangat diperhatikan oleh pemerintah sehingga ada kecenderungan pemerintah akan sangat berhati-hati ke depannya.
Khusus sektor swasta, dia melihat tren perlambatan pertumbuhan utang valas sudah terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir. Sektor yang menonjol adalah pertambangan dan keuangan karena keduanya merupakan debitur dominan.
Perlambatan utang valas di sektor tambang dipengaruhi oleh harga komoditas yang masih belum meningkat signifikan.
Sementara itu, sektor keuangan lebih dipengaruhi oleh permintaan kredit di Tanah Air yang melambat. Di sektor ini, perusahaan pembiayaan atau multifinance lah yang sering menarik pinjaman luar negeri.
"Multifinance itu pembiayaan motor dan mobil. Tahun lalu, penjualan mobil dan motor turun, jadi buat apa pinjam," tutur Lana.
Ke depannya, dia memperkirakan perlambatan mungkin terjadi hingga akhir 2018 atau tahun depan.
Pada perdagangan Kamis (21/6), rupiah ditutup di level Rp14.102 atau melemah 1,22%. Pada perdagangan terakhir sebelum libur Idulfitri 2018, Jumat (8/6), rupiah juga ditutup melemah 0,41% di posisi Rp13.932.