Bisnis.com, JAKARTA — Realisasi investasi pariwisata pada 2017 mencapai US$1,7 miliar, naik 31% dari tahun sebelumnya. Sayangnya, kucuran modal di sektor tersebut belum merata karena hanya tersentral di Bali, Jakarta, dan Kepulauan Riau (Batam).
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azhari menjelaskan, ketiga destinasi tersebut merupakan pintu masuk utama wisatawan mancanegara (wisman). Ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas ketiganya juga sudah sangat mumpuni.
“Ketiga daerah itu pintu masuk turis ke Indonesia, memanga [investasinya] tertinggi karena mereka hub. Namun, kalau dianggap sebagai destinasi investasi pariwisata, pemerintah bisa jadi salah persepsi karena turis belum tentu stay di sana,” katanya kepada Bisnis.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat wisman yang masuk melalui Bandara Internasional Ngurah Rai Bali selama kuartal I/2018 mencapai 3,08 juta orang, sedangkan lewat Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebanyak 1,78 juta orang, dan lewat jalur laut ke Batam sejumlah 590.519 orang.
Menurut Azril, meskipun investasinya mengalami tren peningkatan, pariwisata belum dianggap sebagai sektor yang seksi bagi penanaman modal asing (PMA). Investor asing masih lebih memilih mengucurkan kapitalnya ke sektor manufaktur, jasa, dan pertambangan.
Mengutip data World Economic Forum, indeks daya saing pariwisata Indonesia berada di urutan ke-42 dunia dan peringkat ke-4 Asean, setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Penghambat pariwisata di Tanah Air a.l. faktor keamanan, kesehatan dan kebersihan, infastruktur teknologi komunikasi, keberlanjutan lingkungan, dan infrastruktur pelayanan turis.
“Kenapa hambatan-hambatan itu tidak diperbaiki dulu saja. Sebab, orang mau berinvestasi kan bukan melihat destinasinya dulu, tetapi sektornya dulu,” kata Azril.
Untuk itu, dia merekomendasikan pemerintah agar mengembangkan keunikan dan keotentikan budaya daerah sebagai magnet pariwisata. Terlebih, saat ini tren pariwisata dunia sudah tidak lagi mementingkan unsur 3S, yaitu; sun (matahari), sand (pasir), dan sea (laut).
“Kini trennya bergeser menjadi serenity [ketenangan], spirituality [spiritualitas budaya], dan sustainability [keberlanjutan]. Jadi, perbaiki daya tarik, akses, dan amenitasnya. Tidak harus selalu dalam bentuk pertunjukan atau festival, tetapi sesuatu yang unik dan otentik.”
Berdasarkan data Kementerian Pariwisata, investasi pariwisata pada Januari—Maret 2018 mencapai US$500 juta atau 25% dari target senilai US$2 miliar.
KORELASI
Terpisah, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenpar Dadang Rizky Ratman menjelaskan adanya korelasi antara peningkatan kunjungan wisman dengan kebutuhan investasi di destinasi favorit para turis.
“Investasi di sektor pariwisata masih tertuju pada tiga destinasi, yaitu Great Bali, Great Jakarta, dan Great Kepri, karena destinasi-destinasi ini yang paling banyak dikunjungi wisman,” sebutnya.
Kendati demikian, dia menilai antusiasme pemerintah daerah untuk mengembangkan pariwisata mulai meningkat. Hal itu terefleksi dari banyaknya usulan proyek pengembangan destinasi yang diajukan melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mencapai Rp15 triliun tahun ini.
Padahal, ungkapnya, anggaran pemerintah pusat yang tersedia hanya sekitar Rp500 miliar—Rp1 triliun.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau Fahmizal Usman menambahkan, wisman yang datang ke Kepri mayoritas berasal dari Malaysia. Tahun lalu, Kepri berhasil menarik 52.000 wisatawan, teridiri dari 22.000 wisman dan 300.000 wisnus. Tahun ini, Pemprov Riau menargetkan angka kunjungan bertumbuh sebesar 20%.
“Wisman Malaysia ke Riau mengalami peningkatan sekitar 17% lebih, karena kami head to head kilometer [jaraknya] dari Malaysia. Mereka banyak yang datang untuk wisata budaya dan wisata halal,” ujarnya.