Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Saran Apindo untuk Pacu Ekspor Nonmigas

Kalangan pengusaha berharap dapat memacu ekspor produk Indonesia ke sejumlah negara tujuan dengan meningkatkan daya saing yang didukung regulasi.
Petugas memantau pemindahan kontainer ke atas kapal di New Priok Container Terminal One (NPCT 1), Jakarta, Senin (12/3/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Petugas memantau pemindahan kontainer ke atas kapal di New Priok Container Terminal One (NPCT 1), Jakarta, Senin (12/3/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pengusaha berharap dapat memacu ekspor produk Indonesia ke sejumlah negara tujuan dengan meningkatkan daya saing yang didukung regulasi.  

Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), mengatakan pihaknya sedang melakukan upaya konsolidasi sebagai upaya untuk meningkatkan ekspor dan mendorong pertumbuhan investasi yang berkualitas.

“Kami akan banyak mengawal dan banyak berinteraksi dengan pemerintah untuk melahirkan regulasi yang kompetitif, regulasi sangat penting, regulasi secara keseluruhan, [kalau regulasi kompetitif] upaya untuk meningkatkan ekspor itu sangat besar,” ujar Hariyadi, Senin (28/5/2018).  

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk bisa meningkatkan ekspor yang akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun, sayangnya hal tersebut belum dioptimalkan.

Contohnya, potensi ekspor di sektor perikanan yang sangat besar namun terganjal masalah karena kapal penangkapnya dipersulit perizinannya. Akhirnya, yang terjadi di lapangan, industri pengolahannya tidak mempunyai bahan baku.

Lebih lanjut, katanya, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi pelaku usaha ketika akan melakukan ekspor.

Pertama, tarif yang dipengaruhi kerangka perdagangan. Kondisi saat ini, katanya, perjanjian perdagangan dengan negara-negara tujuan ekspor potensial masih ada yang belum rampung seperti dengan kawasan Eropa. Di sisi lain, beberapa produk Indonesia juga menghadapi kendala dengan aturan dari Amerika Serikat seperti tekstil.  

“Implikasinya, harga barang Indonesia kalau masuk ke negara tujuan itu menjadi lebih mahal. Jadi artinya kita kalah bersaing. Sekarang pertanyaannya siapa yang tanggung jawab perjanjian perdagangan, kan pemerintah yang mesti lead, kalau kita tidak punya perjanjian dengan negara tujuan ekspor, tidak kompetitif,” jelasnya.  

Kedua, dari segi harga juga menjadi tantangan karena masih ada bahan baku yang impor. Hal tersebut, menyebabkan nilai tambah menjadi tidak maksimal. Selain itu, 60% merupakan komoditas primer dan  barang olahan hanya 40%.

“Oleh karena barang yang dikirimkan setengah jadi atau barang mentah, saingannya banyak, yang punya nilai tambah negara yang mengolahnya,” ujarnya.  

Ketiga, koordinasi di internal antar pemerintah yang juga tidak cukup mendorong ekspor seperti upaya untuk membuka pasar baru.

Dia mencontohkan di kawasan Asean, pemerintah dinilai tidak secara serius memberikan dukungannya sehingga pihaknya melihat masih ada kesenjangan yang besar antara pemerintah dan pelaku.

“Jadi masih berjalan sendiri-sendiri, beda dengan, saya contohkan Vietnam dan China atau Korea, pemerintah dan swastanya bersatu, jadi benar-benar jalan,” ujarnya.  

 Hariyadi mengatakan di tengah iklim dunia usaha saat ini dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stagnan di angka 5% memang menjadi kondisi yang menantang. Selain itu, adanya tekanan dari Amerika Serikat terhadap pelemahan rupiah dan hanya minyak yang trennya naik serta dari segi daya beli yang dinilai melemah dalam kurun dua tahun terakhir ini juga menjadi perhatian dari klanagan pengusaha.

“Jadi memang kondisinya ini tidak seperti yang kami harapkan dari segi pertumbuhan. Kami memprediksi 5,2% [tahun ini], kalau dari APINDO, pemerintah 5,4%, kami memposisikan 5,2%, keyakinan kami, itu juga syukur-syukur kalau bisa tercapai, ini sudah lima bulan, rata-rata 5,1% saja tidak sampai,” jelasnya.

Dia mengungkapkan Apindo menangkap adanya kekhawatiran di kalangan pelaku usaha namun tetap ada upaya dan optimisme untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. Hal tersebut, katanya, tergantung efektivitas kebijakan pemerintah.

“Kemarin sudah keluar sampai 16 kebijakan tapi dampaknya kan belum terasa di sektor riil. Hanya beberapa kebijakan yang betul-betul dirasakan tapi secara keseluruhan belum berdampak secara signifikan,” jelasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Agne Yasa

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper