Bisnis.com, JAKARTA—Perubahan drastis pola konsumsi masyarakat biasanya terjadi pada bulan Ramadan. Konsumsi sehari-hari yang biasanya lebih simpel, berubah dengan munculnya kebutuhan untuk menyediakan menu makan lebih lengkap. Dengan tambahan kolak, es buah, susu serta vitamin.
Masyarakat mengkondisikan diri untuk berpuasa dengan baik dan sehat, dengan mencukupkan gizi keluarga melalui menu tersebut. Sebenarnya pada hari-hari diluar Ramadan, menu-menu tersebut jarang muncul.
Masyarakat umumnya menyiapkan menu makanan dengan bahan baku yang relatif sama, sehingga permintaannya dapat melonjak secara masif. Hal ini membutuhkan ketersediaan stok agar harga tetap stabil. Makanan dengan berbahan baku daging dan bumbu-bumbuan spesifik banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Apalagi pada saat memasuki Idul Fitri, menu opor ayam dan ketupat, misalnya, menjadi primadona.
Kenaikan harga tidak dapat dihindari karena mengikuti hukum ekonomi yang berlaku, bahwa saat permintaan barang meningkat maka pedagang akan menaikkan harganya. Apalagi jika stok yang tersedia kurang atau terbatas.
Oleh karena itu pengendalian inflasi sangat ditentukan oleh kualitas upaya untuk menjaga kecukupan barang kebutuhan pokok yang ada di pasar. Inflasi pada Ramadan tahun sebelumnya terjadi pada Mei 2017 (0,39%) dan Juni 2017 (0,69%). Bahkan selalu ada tren positif pada empat tahun terakhir setiap memasuki bulan Ramadan dan Idul Fitri.
Oleh karena itu, dalam menghadapi perubahan pola konsumsi masyarakat ini, respon yang positif dan tenang adalah solusi yang terbaik dalam menjaga stabilisasi harga. Bagi para pedagang maupun konsumen rumah tangga agar menghindari penimbunan barang supaya arus penyediaan stok tetap terjaga.
Jika dalam satu kondisi barang menjadi langka atau sulit diperoleh oleh masyarakat, selain menggelisahkan publik juga akan berakibat harga yang tidak dapat terkendali.
Dengan demikian upaya menciptakan kondisi masyarakat yang tenang menjadi sangat strategis dalam menjaga statabilitas harga di pasar. Distribusi barang ke daerah untuk menjaga ketersediaan stok barang diyakini turut membantu menjaga stabilitas harga tersebut.
Stabilisasi Harga
Dalam menjaga stabilisasi harga pada bulan Ramadan ini akan juga terkait dengan dinamika hari raya Idul Fitri. Permintaan pembelian pakaian baru diyakini akan lebih dominan.
Pasar Tanah Abang, misalnya, semakin ramai dikunjungi konsumen dari berbagai daerah untuk persiapan pedagang mengisi tokonya dengan model-model busana terbaru, baik baju muslim maupun perlengkapan ibadah.
Hal ini menjadi tren menarik untuk dikaji dalam pola belanja masyarakat pada bulan Ramadan. Selalu ada semangat dan optimisme jika melihat dinamika yang terjadi.
Kebutuhan sandang, meskipun permintaan meningkat, tetapi pergerakan harganya relatif terkendali. Karena sifat komoditas sandang ini memiliki substitusi yang beragam, sehingga tidak terjadi tekanan pada satu jenis barang saja. Bahkan dari segi kualitasnya pun lebih banyak pilihan bagi konsumen untuk menentukan pakaian apa yang akan dibelinya.
Dari pengalaman selama ini, komoditas penyumbang inflasi terbesar dalam empat tahun terakhir biasanya adalah daging, ikan segar, bumbu-bumbuan dan tarif angkutan. Tidak tercatat dari komoditas sandang.
Sementara itu, pada bulan Ramadan juga ditandai dengan munculnya pedagang makanan-minuman untuk memenuhi kebutuhan saat berbuka puasa. Hal ini memberikan gambaran bahwa permintaan bahan makanan dan bumbu-bumbuan akan bergerak positif, yaitu bahan makanan untuk membuat lauk-pauk maupun kue.
Dengan demikian, sekali lagi, upaya stabilisasi harga pada periode ini menjadi penting untuk dilakukan. Apalagi ditambah dengan banyaknya uang beredar di masyarakat dimana umumnya Tunjangan Hari Raya (THR) sudah mulai didapatkan oleh sebagian besar masyarakat.
Tidak terkecuali dengan masyarakat miskin karena saat Ramadan semangat charity dan berbagi melalui zakat dan sedekah juga bertumbuh. Pola konsumsi masyarakat juga menyesuaikan dengan ketersediaan uang yang dimilikinya.
Adapun kebiasaan mudik saat hari raya juga diyakini memberikan tekanan tersendiri untuk kenaikan harga, terutama yang berkaitan dengan tarif transportasi perjalanan, baik darat, laut dan udara.
Sebagaimana potret Ramadan dan Idul fitri tahun lalu, angkutan memberikan sumbangan inflasi mencapai 0,20%. Namun masyarakat tetap rela membeli tiket dengan harga tinggi untuk dapat pulang ke kampung halamannya.
Kemacetan dan keletihan tetap dinikmati untuk dapat berkumpul bahagia bersama orang tua dan keluarga. Terlepas dari fenomena kenaikan harga barang dan pentingnya stabilisasi harga, ternyata bahagia itu jauh lebih berharga dan lebih bermakna dirasakan oleh masyarakat.
Kebahagiaan yang didambakan dalam suatu momen yang hadir sekali dalam setiap tahun ini seringkali dimaknai lebih mendalam. Dapat diartikan bahwa meraih berkah Ramadan dengan berbakti pada orang tua dan menyambung silaturahim sangat diyakini mampu membuka pintu rezeki.
Pada gilirannya pada bulan-bulan yang akan dijalaninya selama satu tahun mendatang diharapkan menjadi lebih bahagia.