Bisnis.com, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 63/PUU/XV/2017 telah memperluas makna pihak yang bisa menjadi kuasa wajib pajak (WP). Namun demikian, masalah tak hanya sampai di situ, saat ini pascaputusan itu muncul pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang berhak melakukan uji kompetensi kepada kuasa WP.
Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC), mengatakan putusan MK sudah tepat. Putusan ini menegaskan bahwa ketentuan kewenangan mengenai hak dan kewajiban kuasa WP tak boleh diperluas atau dibatasi oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Soal kompetensi, Darussalam menjelaskan bahwa sebenarnya ada dua opsi yang bisa dipertimbangan untuk kompetensi seseorang yang menjadi kuasa wajib pajak misalnya lembaga profesi tertentu atau perguruan tinggi yang memang dibentuk untuk mendidik seseorang untuk menjadi ahli pajak dengan mekanisme dan tahapan tertentu.
Namun demikian, menurutnya, perguruan tinggi merupakan lembaga yang lebih kredibel untuk menciptakan seorang yang paham pajak. Apalagi setiap perguruan tinggi juga telah melalui proses akreditasi atau standardisasi untuk menjamin kualitas maupun kredibilitasnya.
Sementara itu, lembaga konsultan pajak menurutnya masih ada sejumlah hal yang menjadi pertanyaan misalnya soal kapabilitas sebuah lembaga melakukan pengujian. "Serta apakah lembaga tersebut mendapat kewenangan dari UU untuk melakukan [pengujian]?," kata Darussalam, Minggu (29/4/2018).
Bagi Darussalam, lembaga konsultan pajak, ke depan sebaiknya hanya mengatur masalah kode etik, misalnya dengan menjaga standar profesi melalui pendidikan berkelanjutan. Sementara itu, soal masalah kompetensi sudah sepantasnya diserahkan kepada dunia perguruan tinggi, dengan catatan perbaikan kurikulum kerja sama dengan Ditjen Pajak.
"Intinya kuasa WP harus diprioritaskan kepada lulusan pajak perguruan tinggi. Lantas supaya tak dimonopoli, lulusan bukan pajak tetap bisa jadi kuasa sepanjang lulus Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak [USKP]," jelasnya.