Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha meminta agar pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengurangi kapal pembangkit listrik alias mobile power plant (MPP).
Pasalnya, kapal pembangkit listrik asal Turki ini bakal memicu pemborosan di PLN. “Kapal listrik berbahan bakar diesel dan sangat mahal. Temuan BPK sudah betul,” ujar Juru Bicara Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary melalui keterangan resmi, Rabu (18/4/2018).
Pernyataan itu disampaikan untuk menanggapi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan potensi pemborosan sebesar Rp1,61 triliun di proyek pembangkit listrik. Menurutnya, PLN sebaiknya tidak menambah atau meneruskan proyek MPP atau kapal pembangkit listrik.
Dia mengatakan pada masa depan harga energi primer bakal semakin mahal. Harga minyak dunia berpotensi terus meningkat seiring dengan merebaknya serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Suriah.
“Kenaikkan harga minyak rentan terhadap peningkatan subsidi dan inflasi. Jadi, daari segala sudut pandang kapal listrik tidak efisien,” ujarnya.
Sebelumnya, BPK menemukan potensi pemborosan di PT PLN sebesar Rp1,61 triliun. Dalam laporan pemeriksaan subsidi listrik BPK baru-baru ini, pemborosan tersebut dapat terjadi bila PLN tidak menggunakan gas untuk kapal listrik di lima daerah dalam 2 tahun ke depan.
PLN sendiri telah memulai proyek kapal listrik sejak 2015. PLN menargetkan membangun 8 unit di Paya Pasir dan Pulau Nias (Sumatra Utara), Balai Pungut (Riau), Air Anyir dan Belitung Suge (Babel) Tarahan (Lampung), Pontianak (Kalbar), Jerajang (Lombok).
Berdasarkan temuan BPK, biaya produksi kapal listrik menggunakan HSD (high speed diesel) mencapai Rp2.340 per kilowatt jam (kWh) jauh di atas biaya operasi bila menggunakan gas hanya sebesar Rp1.284-Rp1.469 kWh. BPK juga menemukan konsumsi bahan bakar kapal listrik lebih besar yakni 0,37-0,41 liter per kWh.
Di sisi lain, potensi pemborosan itu tidak diiikuti oleh biaya produksi yang memadai. Berdasarkan uji petik di 3 unit kapal listrik realisasi produksi listrik antara November 2017 dan Desember 2017 tidak sesuai dengan kontrak.
PLN dibebani pembayaran sebesar 70% dari produski kapal listrik, walaupun listriknya tidak terpakai.