Bisnis.com, JAKARTA— Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menilai penyelesaian Perpres No.20/2018 tentang Penggunaan Tegaga Kerja Asing terkesan terburu-buru.
Sekjen OPSI sekalgigus Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengemukakan ada penjelasan pasal yang tidak sesuai dengan yang dimaksudkan.
Pada paal 11 ayat 2 disebutkankebutukan menggunakan tenaga kerja asing (TKA) untuk pekerjaan yang bersifat sementaradan tidak tercantumdalamRPTKA sebagaimana dimaksuda dalam pasal 5ayat (5).
Sementara itu jelasnya di Perpres No. 20/2018, di pasal 5 hanya ada tiga ayat.
“[Terkesan] terburu-buru. Pasal 11 ayat 2 d menyebutkan pasal 5 ayat 5, sementara di pasal itu tidak ada(ayat yang dimaksud),” kata Timboel kepada Bisnis, Kamis (5/8/2018). “Artinya ada kesalahan dalam teknis.”
Dia juga menyayangkan dalam penyusunan perpres tersebut tudaj melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder), seperti dari serikat pekerja dan pengusaha.
“Tidak sesuai amanat pasal 96 UU No. 12 /2011 yang mengamantkan proses pembuatan perundang0undangan harus melibatkan para stakeholder,” kata Timboel.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Beleid tersebut diteken pada 26 Maret 2018. Dilansir dari laman setkab.go.id, Kamis (5/4/2018), regulasi ini dibuat atas dasar pertimbangan perlunya pengaturan kembali perizinan penggunaan tenaga kerja asing. Dengan demikian, diharapkan dapat mendukung perekonomian nasional dan memperluas kesempatan kerja melalui peningkatan investasi.
Peraturan Presiden (Perpres) ini merupakan perubahan dari Perpres Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.
Salah satu hal yang dicantumkan dalam Perpres ini adalah penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) mesti melihat situasi di dalam negeri. Seperti dikutip Bisnis dari Perpres tersebut, dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan penggunaan TKA dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar di dalam negeri.
Pemberi kerja juga mesti mendahulukan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan. Hal ini disampaikan dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2.
"Setiap pemberi kerja TKA wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang ada," demikian disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1.
Sementara itu, Pasal 5 menyatakan TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan tertentu. Jabatan tertentu yang dimaksud akan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
Berikutnya, dalam Pasal 6 disebutkan mengenai diizinkannya TKA yang sedang dipekerjakan oleh pemberi kerja TKA yang lain untuk bekerja dalam jabatan yang sama, paling lama sampai berakhirnya masa kerja sesuai kontrak dengan pemberi kerja TKA pertama.
Jenis jabatan, sektor, dan tata cara penggunaan TKA ini akan diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Menteri.
Pasal 7 ayat 1 menyatakan setiap pemberi kerja TKA harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk. RPTKA hanya perlu memuat paling sedikit alasan penggunaan TKA; jabatan dan/atau kedudukan TKA; jangka waktu penggunaan TKA; dan penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA.
Ada pula pengecualian RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang merupakan pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau dewan komisaris pemberi kerja; pegawai diplomatik dan konsuler pada perwakilan negara asing; dan TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah. Hal ini disebutkan dalam Pasal 10 ayat 1.
Untuk pekerjaan yang sifatnya darurat dan mendesak, Pasal 13 ayat 1 menerangkan bahwa pemberi kerja dapat mempekerjakan TKA dengan mengajukan permohonan pengesahan RPTKA kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama dua hari setelah TKA bekerja. Pengesahannya diberikan paling lama satu hari kerja.
Pemberi kerja TKA juga diwajibkan membayar dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank yang ditunjuk dan akan masuk dalam pos Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tetapi, hal ini tidak diwajibkan bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, dan badan internasional.
Terkait izin tinggal dan bekerja, TKA wajib memiliki Visa Tinggal Terbatas (Vitas) untuk bekerja. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan permohonan Vitas dapat sekaligus dijadikan permohonan Izin Tinggal Sementara (Itas).
"Izin tinggal bagi TKA untuk pertama kali diberikan paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian disampaikan dalam Pasal 21 ayat 3.
TKA yang bekerja lebih dari enam bulan juga wajib dimasukkan dalam program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan/atau polis asuransi di perusahaan asuransi berbadan hukum Indonesia.
Selain itu, Pemberi Kerja TKA wajib melaporkan pelaksanaan penggunaan TKA kepada Menteri tiap satu tahun. Hal ini berbeda dari beleid sebelumnya yang menetapkan masa pelaporan tiap enam bulan sekali.
Perpres ini berlaku setelah tiga bulan sejak tanggal diundangkan. Adapun Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly telah mengundangkan aturan tersebut pada 29 Maret 2018.