Bisnis.com, JAKARTA -- Peningkatan utang pemerintah yang sebesar 13,46% dinilai kurang produktif dengan realisasi pertumbuhan ekonomi yang berada di level 5%.
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan utang Pemerintah Indonesia naik 13,46% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi Rp4.034,80 triliun per Februari 2018.
Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati mengatakan jika dilihat dari porsi pertumbuhan utang 13% dengan pertumbuhan ekonomi di level 5%, angkanya dinilai kurang produktif. Menurutnya, pembiayaan dari utang tersebut tidak langsung mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, klaim pemerintah bahwa pembiayaan utang untuk menunjang pembangunan infrastuktur belum begitu terlihat. Enny mengemukakan bahwa beberapa kontraktor BUMN yang ikut dalam pembangunan infrastruktur mencari pendanaan sendiri melalui dana peminjaman melalui perbankan sampai menerbitkan obligasi.
"Sebenarnya bahwa infrastruktur banyak dibangun iya, tapi apakah dananya dari APBN? BUMN utang dengan bunga komersial di atas 6%. Tol enggak laku karena biaya tol mahal, tol jadi mahal apa memungkinkan menurunkan biaya logistik?" paparnya dalam Diskusi Bulanan Policy Center ILUNI UI di Gedung Rektorat Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (3/4/2018).
Ekonom Senior UI Faisal H. Basri menyampaikan hal senada dan menjelaskan bahwa utang yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur hanya sebesar 36%.
"Jadi utang bertambah untuk pembangunan infrastruktur itu hanya 36%, lebih banyak dikeluarkan untuk pembelanjaan barang sebesar 58% dan pembayaran bunga utang terdahulu sebesar 63%," sebutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Strategi dan Portfolio Utang Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembiayaan dan Pemeliharaan Risiko Kemenkeu Schneider Siahaan mengatakan utang luar negeri Indonesia masih berada dalam tahap yang aman.
"Terbilang aman karena kalau dibandingkan dengan negara-negara Asean, Indonesia memiliki rasio utang paling rendah," ungkapnya.