Bisnis.com, JAKARTA -- PT Inalum (Persero) menyatakan bersiap untuk mengahadapi penurunan produksi yang signifikan setelah masuk ke PT Freeport Indonesia.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan puncak produksi Freeport Indonesia di tambang terbuka Grasberg akan terjadi pada tahun ini. Setelah itu, penambangan akan beralih ke tambang bawah tanah yang saat ini masih dalam tahap pengembangan.
"Jadi 2018 peak production di opet pit-nya karena sudah sampai bawah. Di bawah itu banyak emasnya. Untungnya akan besar, tapi tahun ini habis," katanya, Rabu (21/3/2018).
Dia menjelaskan saat ini produksi tambang bawah tanah masih sangat kecil. Namun, akan terus meningkat setiap tahunnya.
Dia memperkirakan tingkat produksi tambang bawah tanah akan menyamai tingkat produksi Grasberg mulai 2022. Artinya, sepanjang 2019 hingga 2021 akan terjadi penurunan.
"EBITDA-nya masih tetap ada karena masih ada stok, tapi kecil. 2019 paling jatuh," ujarnya.
Selain itu, Inalum masih terus bernegosiasi dengan Rio Tinto terkait dengan rencana pembelian hak partisipasi Rio Tinto sebesar 40% di PT Freeport Indonesia.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa rentang harga tersebut diperoleh dari hasil riset beberapa bank. Menurutnya, hasil penghitungan satu bank dengan yang lainnya tidak terlalu jauh.
"Range [rentang] harga sudah diset. Di semua analyst research seperti dari Deutsche Bank, HSBC, Credit Suisse, Morgan Stanley itu sudah ditulis secara rinci. Enggak banyak beda."
Dia menegaskan, pihaknya akan bernegosiasi secara intensif untuk mendapatkan harga yang terbaik. Apalagi pemerintah telah menargetkan kesepakatan terkait divestasi Freeport Indonesia bisa diperoleh pada April 2018.
Dia menyatakan semakin banyak pinjaman akan semakin baik yang akan digunakan untuk mengambil alih 40% hak partisipasi Rio Tinto di Freeport Indonesia. Namun, dia masih enggan mengungkapkan pihak mana saja yang memberi pinjaman dalam transaksi tersebut.