Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah diminta waspada terhadap utang luar negeri yang mencapai Rp4.035 triliun, pasalnya pertumbuhan penerimaan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan utangnya.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE, mengatakan bahwa pertumbuhan penerimaan pajak pada 2017 hanya 4,3%, sedangan utang tumbuh sangat pesat mencapai 13,7%.
"Itu artinya pemerintah harus berhati-hati, karena pertumbuhan penerimaan pajak [salah satu indikator untuk membayar utang] tidak tumbuh sejalan [dengan utangnya]," katanya kepada Bisnis, Jumat (16/3/2018).
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kata Faisal, rata-rata pertumbuhan penerimaan negara dari 2014-2017 mencapai 4%, sedangkan rata-rata pertumbuhan penerimaan utang mencapai 13%. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan penerimaan negara 2009-2013 mencapai 10% dengan rata-rata pertumbuhan utang 8%.
Di sisi lain, dirinya mengapresisi realisasi penerimaan perpajakan Rp160,7 triliun, atau tumbuh 13,6% dari periode yang sama tahun lalu. "Hal tersebut, harus diakui merupakan achievement, karena tahun lalu kecil [6,8%]," jelasnya.
Namun, pertumbuhan penerimaan yang tinggi juga masih belum cukup, karena target pemerintah sendiri sekitar Rp1.618,1 triliun berasal dari perpajakan. Artinya, pemerintah masih harus menggenjot pertumbuhan lebih kuat lagi untuk mencapai target tersebut.
Jika pemerintah sering menggunakan indikator loan to GDP, terlihat utang tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan, karena hanya 31% terhadap GDP. "Sementara Jepang, yang sering dibandingkan [pemerintah] itu tinggi sekali, hampir dua kali GDP-nya [197%]," imbuhnya.
Namun, utang luar negeri Jepang hanya 5% terhadap total utangnya, dan kepemilikan asing di SBN Jepang hanya 11%. Sememntara itu, ULN Indonesia mencapai 24%, dengan kepemilikan asing di SBN mencapai 40%. "Menganalisa utang harus jauh, dan lebih komprehensif,'" imbuhnya.
Selain itu, menurut Faisal, pemerintah masih kesulitan mengumpulkan pajak. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi (5,07%) tidak berhasil men-generate penerimaan pajak yang lebih tinggi yang sama, yakni 4,3%.
Lebih lanjut, dia mengatakan tax ratio selalu terus menurun pada beberapa tahun belakangan ini.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tax ratio nonmigas plus PPh migas pada tax ratio nonmigas plus PPh migas pada 2012 (10,15%), 2013 (10,14%), 2014 (9,76%), 2015 (9,1%), 2016 (8,9%), dan 2017 (8,4%).
"Artinya terlihat sekali pemerintah sedang kesulitan mengumpulkan pajak, padahal ekonomi tumbuh, kalau penerimaan tidak bisa diperbaiki, utang juga akan sulit dibayar," katanya.