Bisnis.com, JAKARTA--Indonesia berpotensi menjadi pusat pertumbuhan industri petrokimia dan lebih kompetitif di tingkat Asean dengan semakin meningkatnya investasi dan ekspansi dari sejumlah produsen di dalam negeri.
Salah satunya bakal direalisasikan oleh manufaktur besar Thailand, Siam Cement Group (SCG), yang berencana membangun fasilitas produksi nafta cracker senilai US$5,5 miliar atau setara Rp75 triliun di Cilegon, Banten.
“Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi negara tujuan investasi seiring upaya pemerintah yang terus menciptakan iklim usaha kondusif. Nilai investasi ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia dan bagi SCG sendiri,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan resmi, Jumat (16/3/2018).
Delegasi SCG telah melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk melaporkan perkembangan investasi di sektor industri petrokimia tersebut.
Menurut Airlangga, progres proyek SCG ini sudah pada tahap desain pabrik yang akan membutuhkan waktu 8--9 bulan dan ditargetkan bisa beroperasi pada 2021 atau 2022.
“Investasi SCG kali ini merupakan bentuk kerja sama dengan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. SCG selaku pemegang saham strategis di Chandra Asri, punya teknologi dan funding yang mumpuni. Apalagi, Chandra Asri juga akan ekspansi,” paparnya.
Airlangga menyebutkan pabrik petrokimia yang akan segera dibangun ini akan memiliki kapasitas produksi dua kali lipat dari pabrik yang sudah eksisting di Cilegon, yakni sekitar 1,2 juta ton per tahun.
Pabrik baru ini, selain menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan nilai tambah, hasil produksinya nanti juga untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
“Produksinya itu akan lengkap, mulai dari nafta cracker, ethylene dan propylene, hingga polyethylene dan polypropylene," tuturnya
Kemenperin mencatat nafta cracker dari produksi industri nasional sebanyak 900.000 ton per tahun, sementara permintaan dalam negeri mencapai 1,6 juta ton. Adapun, Singapura sudah memproduksi 3,8 juta ton dan Thailand 5 juta ton per tahun.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah memberikan apresiasi terhadap investasi SCG tersebut dan akan berupaya memfasilitasi pemberian tax holiday. Insentif pajak ini akan diberikan dengan pertimbangan nilai investasi yang cukup besar serta dapat menghemat devisa negara karena hasil produksinya untuk substitusi bahan baku impor.
Sebelumnya, President & CEO SCG Roongrote Rangsiyopash menyampaikan pihaknya telah memilih Indonesia sebagai salah satu destinasi investasi terbesarnya di kawasan Asia Tenggara.
Keyakinannya itu karena pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini semakin membaik dengan didukung berbagai kebijakan pemerintah untuk memberi kemudahan berusaha bagi para investor.
“Kami sampaikan, kami sangat senang dengan ekonomi Indonesia yang baik yang juga diiringi dengan peraturan yang mendukung dan situasi politik yang stabil," ungkapnya.
Bahkan, dirinya juga mengklaim upaya yang dilakukan perusahaan saat ini telah sejalan dengan keinginan Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pembangunan industri di Indonesia, khususnya sektor petrokimia.
"Kami senang ternyata Presiden Jokowi juga sangat memberikan perhatian penuh dalam pembangunan pabrik ini,” imbuhnya.
Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono menyebutkan Chandra Asri selaku industri nasional, akan menggelontorkan dananya sebesar US$6miliar sampai 2021 dalam rangka peningkatan kapasitas produksi.
Pada 2017, Chandra Asri berinvestasi sebesar US$150 juta untuk menambah kapasitas butadiene sebanyak 50.000 ton per tahun dan polyethylene 400.000 ton per tahun.
Selain itu, industri petrokimia asal Korea Selatan, Lotte Chemical Titan akan merealisasikan investasinya sebesar US$3miliar hingga US$4 miliar untuk memproduksi nafta cracker dengan total kapasitas sebanyak 2 juta ton per tahun. Bahan baku kimia tersebut diperlukan untuk menghasilkan ethylene, propylene dan produk turunan lainnya.
Dengan tambahan investasi Lotte Chemical dan Chandra Asri tersebut, Indonesia akan mampu menghasilkan bahan baku kimia berbasis nafta cracker sebanyak 3 juta ton per tahun. Bahkan, Indonesia bisa memposisikan sebagai produsen terbesar ke-4 di Asean setelah Thailand, Singapura dan Malaysia.