Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Inti Melemah, Kemenkeu Tegaskan Tak Ada Penurunan Daya Beli

Tren penurunan inflasi inti sejak beberapa tahun belakangan dianggap sebagai sinyal pelemahan daya beli. Namun demikian, pemerintah menganggap penurunan inflasi inti tersebut lebih disebabkan pergeseran pola konsumsi.
Ilustrasi daya beli/Bisnis
Ilustrasi daya beli/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Tren penurunan inflasi inti sejak beberapa tahun belakangan dianggap sebagai sinyal pelemahan daya beli. Namun demikian, pemerintah menganggap penurunan inflasi inti tersebut lebih disebabkan pergeseran pola konsumsi.

Adriyanto, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menjelaskan jika melihat inflasi secara umum, sebenarnya tidak ada indikasi perlemahan daya beli. Tetapi memang ada indikasi pada kelompok menengah atas menahan belanja.

"Jadi kalau tingkat inflasi bergerak turun ini berdampak positif pada daya beli.Penurunan inflasi (inti) tidak berarti terjadi penurunan daya beli," kata Adriyanto kepada Bisnis, Kamis malam (1/3/2018).

Memang banyak pihak yang membandingkan antara inflasi inti dengan daya, hubungan erat antara inflasi inti dengan permintaan menjadi salah satu munculnya perbandingan tersebut. Meski demikian, lanjut Adriyanto, penurunan permintaan bukan karena daya beli rendah tetapi lebih karena pergeseran belanja.

"Kalau lihat tingkat tabungan tumbuh tinggi. Jadi income is there, cuma bagaimana pola konsumsinya," ungkapnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Februari 2018, secara umum BPS menganggap inflasi bulan lalu relatif terkendali, hal itu ditunjukan dengan inflasi bulanan di angka 0,17% dan secara tahunan 3,18%.

Meski terkendali, di satu sisi jika melihat komponennya, kinerja inflasi inti yang hanya 2,58% (year on year) menunjukan titik terendah sejak enam tahun belakangan. Padahal, inflasi inti biasanya digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat daya beli.

Artinya, jika inflasi inti terus anjlok, praktis daya beli juga berada di posisi yang cukup rawan. Apalagi hal itu juga terkonfirmasi dengan realisasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang dirilis bulan lalu yang menunjukan gejala yang sama yakni mencapai titik terendah sejak lima tahun belakangan.

Inflasi inti sendiri sesuai penjelasan dari Bank Indonesia, adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti permintaan interaksi permintaan-penawaran.

Termasuk di dalam hal ini pengaruh dari lingkungan eksternal misalnya mengenai nilai tukar, harga komoditas, dan inflasi mitra dagang.

Adapun BPS dalam rilis tersebut menjelaskan bahwa inflasi inti pada Februari 2018 mencapai 0,26% dan secara tahunan sebesar 2,58%. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kinerja inflasi inti ini berangsur-angsur loyo.

Berdasarkan catatan Bisnis, pada Februari tahun 2013 inflasi inti tumbuh sebesar 4,29%, kemudian naik menjadi 4,57% pada 2014, angka itu mengalami titik tertinggi pada 2015 sebesar 4,96%. Namun sejak 2016 realisasi inti terus anjlok di angka 3,59%, tahun lalu sebesar 3,41%, dan tahun ini mencapai titik nadir yakni di angka 2,58%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper