Bisnis.com, JAKARTA- Mohammed Sirajuddeen, Managing Director and Digital Commerce Lead Asia Pasific, Africa, Middle East & Turkey Accenture mengemukakan, teknologi telah mengubah sektor ritel, di mana kekuatan yang semula berada di tangan brand berpindah ke tangan konsumen.
Menurutnya, perkembangan teknologi kini membuat para ahli pemasaran di dunia mulai beralih ke era digital commerce, dari sebelumnya e-commerce.
Dia menjelaskan, di era digital commerce, para ahli pemasaran tak sekadar memajang produk mereka secara online dan menunggu secara pasif respons dari konsumennya. Lebih dari itu, para produsen memiliki visi pemasaran digital dan secara aktif menjangkau konsumennya melalui dua cara.
Petama, dengan meningkatkan kemampuan pemasarannya dengan mengaktifkan semua platform digital mulai dari situs, aplikasi, media sosial, hingga teknologi tinggi seperti virtual reality. Selain itu, para produsen juga wajib menggunakan big data untuk menganalisis siapa konsumennya sehingga produknya bisa menjangkau sasaran yang tepat.
“Mayoritas perusahaan di Indonesia saat ini masih berada di era e-commerce. Mereka butuh bertransformasi untuk menerapkan digital commerce untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman,” ujarnya, Rabu (28/2/2018).
Dia menyebut, Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang mengalami keterlambatan dalam hal mengadopsi digitalisasi. Hal ini ditunjukkan dari tingkat penetrasi internet yang baru mencapai 29,6% dari total populasi sebesar 264 juta jiwa pada 2017.
Namun, dengan jumlah populasi yang terus bertambah, diperkirakan tingkat penetrasi internet di Indonesia akan melonjak hingga 50% dari total polulasi pada 2020. Indeks Konsumen Digital pun diprediksi akan meningkat cepat, di mana persentase konsumen online dapat menyentuh 65,4% dari total populasi pada 2020, dibandingkan pada tahun lalu di mana baru 43,5% masyarakat merupakan pembelanja online.
Adapun tingkat pengeluaran belanja online per kapita di Indonesia masih relatif rendah sebesar US$ 31,7 per pembeli. Jumlah tersebut diyakini berpotensi meningkat dua kali lipatnya menjadi US$78,1 per pembeli.
Sementara itu, Country Sales and Operations Director Snapcart Indonesia Eko Wicaksono mengemukakan penetrasi digital yang cukup masif beberapa tahun terakhir ini tak lantas membuat seluruh masyarakat menyukai belanja online.
Beberapa faktor seperti harga yang sama dengan pembelian di toko ritel offline, adanya ongkos pengiriman, serta lamanya proses pengiriman menjadi kondisi yang membuat masyarakat tidak tertarik untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari secara online.
Meskipun demikian, kombinasi antara toko offline dan online diyakini akan menjadi strategi pemasaran yang tepat bagi para peritel untuk bertahan di tengah gempuran teknologi. Peritel dianjurkan untuk membedakan karakteristik produk yang dijual secara online maupun ofline.