Bisnis.com, JAKARTA—Meski pemerintah menolak melanjutkan pembahasan rancangan Undang-Undang Pertembakauan. Namun DPR tetap ngotot untuk melanjutkan pembahasan undang-undang tersebut.
Dalam pandangan pemerintah RUU Pertembakauan berpotensi tumpang tindih dengan puluhan regulasi yang sudah berlaku. Oleh karena itu pemerintah secara tegas menganggap pembahasan RUU tersebut tak perlu dilanjutkan.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi belum lama ini menyatakan, ada 15 aturan yang beririsan dengan RUU tersebut, selain itu beberapa norma yang masuk dalam rencana beleid itu sebenarnya sudah diatur dalam UU existing, termasuk pengaturan mengenai cukai.
Meski demikian, Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan tetap melanjutkan pembahasan, terakhir mereka bertemu dengan pelaku industri hasil tembakau di Surabaya, Kamis (8/2). Hasilnya, Pansus RUU Perrembakauan menerima banyak masukan dari pihak-pihak terkait industri tembakau, termasuk dua perusahaan rokok besar di Jawa Timur.
Anggota Pansus RUU Tembakau Mukhamad Misbakhun mengatakan, berbagai masukan yang ada akan sangat positif bagi pembahasan draf aturan hasil inisiatif DPR itu. Sebagai contoh, industri tembakau telah banyak menyerap banyak tenaga kerja tanpa keahlian khusus terutama di bagian sigaret kretek tangan.
“Rata-rata mereka adalah wanita dan dengan bekerja sebagai buruh pabrik rokok. Mereka menjadi punya penghasilan yang cukup dan bisa meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarganya,” ujar Misbakhun dalam keterangan resminya Kamis (8/2/2018).
Lebih lanjut legislator asal Pasuruan, Jawa Timur itu mengatakan, daya serap industri tebakau di Surabaya terhadap tembakau lokal ternyata sangat tinggi. Kisarannya antara 70-84 persen selama sepuluh tahun terakhir.
“Besaran persentase penyerapan tembakau lokal oleh industri tembakau ini ternyata sangat dipengaruhi oleh regulasi pemerintah tentang pengaturan di bidang perdagangan, tingkat harga dan regulasi kesehatan atas rokok,” ulasnya.
Karena itu Misbakhun menegaskan, aspirasi yang menginginkan industri rokok menggunakan tembakau lokal hingga 80% perlu dikaji secara matang. Sebab, jika kebijakan itu diterapkan tanpa persiapan matang berupa ketersediaan lahan tembakau, penyediaan bibit unggul, hingga pengolahan pasca-panen maka akan berdampak serius bagi industri rokok.
“Karena ada bagian dari rokok yang memang harus diisi oleh tembakau yang jenis varietasnya tidak ada di Indonesia. Bahkan tidak bisa ditanam di Indonesia sehingga harus diimpor,” katanya.