Bisnis.com, JAKARTA— Keputusan Kementerian Perdagangan untuk membuka keran impor jagung sebanyak 171.000 ton untuk kebutuhan industri khususnya yang berorientsi ekspor dianggap tidak akan berpengaruh terhadap harga jagung nasional, khususnya untuk kebutuhan pakan ternak.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Desianto Budi Utomo. Menurutnya angka impor sebesar 171.000 ton tersebut sangat tidak signifikan dibandingkan dengan produksi jagung dalam negeri yang menurut Kementerian Pertanian mencapai 27 ton pada tahun lalu.
“Sangat tidak signifikan lah. Karena produksi kita kan lebih dari 20 juta ton dan itu untuk pangan, jadi nggak mempengaruhi. Hampir tiap tahun ada kok, itu bukan sesuatu yang baru,” katanya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (8/2/2018).
Dia menambahkan, sektor pakan ternak menjadi salah satu penyerap terbesar produksi jagung di Indonesia. Kebutuhan pakan di 2018 diprediksi akan mencapai 7,5 juta ton atau sekitar 650.000 ton per bulan setelah direvisi. Adapun realisasi penyerapan jagung untuk kebutuhan pakan ternak mencapai hingga 6 juta ton hingga November 2017 dari prediksi tahun lalu sebesar 700.000 ton per bulan atau 8,4 juta ton per tahun.
Seperti diketahui dalam angka ramalan II pada 2017 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, produksi jagung Indonesia diperkirakan akan mencapai 27,9 Juta ton pada 2017.
Sementara itu, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir memprediksi produksi jagung di 2018 akan mengalami peningkatan sedikitnya 10% di 2018.
Namun demikian, Winarno menekankan bahwa prenaikan produksi minimal 10% hanya akan tercapai jika pemerintah tidak mendengungkan impor jagung.
Tindakan mengimpor jagung, kata Winarno, bisa berpengaruh terhadap kemauan para petani untuk bertanam jagung, apalagi kalau harga dalam negeri sampai terganggu.
“Kalau ada impor masuk, dan harganya jatuh, ini [produksi] saya yakin akan turun. Petani [ngambek] ngapain, hitung-hitungannya nggak ketemu,” katanya ketika dihubungi Bisnis beberapa waktu lalu.