Anda tahu, berapa hasil US$22 miliar jika dikalikan, minimal, dengan Rp13.000? Jika tidak salah hitung, hasilnya Rp298.610. 000. 000. 000. Kecil? Bayangkan, kalau uang itu, dalam bentuk pecahan Rp100.000, kita jejerkan di jalan raya, berapa kilometer panjangnya? Atau, kita membayangkan saja, jika uang sebesar itu tidak ada dalam kantong devisa kita pada tahun lalu?
Bisa dibayangkan, apa yang bakal dihasilkan dengan uang sebesar itu? DKI, ibukota negara Indonesia, misalnya, memiliki APBD (hanya) Rp77,1 triliun. APBN Indonesia? Anggaran belanja Rp2.204,38 triliun --terdiri atas Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Rp1.443,29 triliun, Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp761,08 triliun.
Itulah kelapa sawit alias Elaeis, penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar atau biodiesel.
Tanaman penghasil crude palm oil, yang didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1848 dan pada 1911 mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda, Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt, lumbung uang kita. “Kelapa sawit emas hijau bagi negara kita Indonesia…" kata Joko Widodo atau Jokowi, Presiden Indonesia.
Dalam urutan penyumbang devisa, kinclongnya emas hijau itu semakin terlihat, bersinar terang. Berada di urutan pertama, data BPS pada 2017 dan hingga Oktober, mengalahkan minyak dan gas alias migas.
Ada memang kisah pilu. Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka 1940. Namun, kini, sumber devisa terbesar.
Baca Juga
Sangkin kepincutnya, dalam acara Program Peremajaan Sawit Rakyat di Desa Kota Tengah, Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, Senin (27/11/2017), yang dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan [saat itu] Teten Masduki, dan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, mantan Gubernur DKI itu 'bersabda':
“Saya perintahkan ke Pak Menko Perekonomian, Pak Darmin Nasution, remajakan semuanya, yang milik rakyat harus diremajakan. Kalau tidak, kita bisa disalip negara lain,” ucap Presiden.
Saya berulang kali pergi menyusuri perkebunan kelapa sawit. Dari mulai di Kalimantan hingga Sumatra. Di antara yang baik, selalu ada yang buruk. Setidaknya, dalam proses land clearing, dilakukan secara membakar. Sisa bakaran itu, terlihat jelas. Terutama sisa batang pohon yang terlihat gosong dan menyerupai arang.
Ada yang memberikan contoh di Jambi. Konon, akses masyarakat terhadap lahan tanaman pangan, semakin sempit. Dipicu oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, ke lahan yang seharusnya untuk persawahan, yang bisa mengatasi ketergantungan terhadap pangan impor. Di lapangan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Itu terbukti di Desa Kembang Seri, Kecamatan Muarosebo Ulu, ada 153, 67 ha lahan cetak sawah yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat, saat ini kondisinya dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah mulai land Clearing.
Sejatinya, itu soal keuntungan. Tidak ada yang melarang petani menjual lahannya kepada investor sawit. Petani realistis. Jika bertani padi tidak lagi menguntungkan, untuk apa berlanjut.
Namun, itulah sawit. Sebaik apapun, sosoknya bak dibenci tapi dirindu. Tidak sedikit yang benci, tapi tidak sedikit pula yang cinta. Setidaknya mereka yang bekerja di industri itu. Data ILO menunjukkan penyerapan tenaga industri kelapa sawit mencapai 8 juta orang. Bsa dibayangkan, jika industri ini 'dibunuh'?
Sawit, tidak lahir di bumi Indonesia. Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1848. Di Afrika Barat penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai 1910. Namun, hasilnya, cukup dirasakan kini.
Ini tak lepas dari kebutuhan akan minyak makan dan industri lainnya, yang membutuhkan crude palm oil. Wilmar Group, salah satu perusahaan CPO besar di Indonesia, akan menambah investasi untuk industri hilir CPO sebesar US$500 juta. Perusahaan ini menyatakan akan membangun pabrik minyak goreng dan produk turunan CPO lainnya di Gresik. Komitmen investasi untuk industri hilir CPO, terutama berupa minyak goreng, mencapai lebih dari US$2 miliar.
Sementara itu, Sinar Mas Group, sejak tahun lalu sudah membangun pabrik baru minyak goreng di Indonesia. Bahkan, ada dua pabrik baru yang siap beroperasi tahun ini. Pada Maret ini, pabrik baru di Jakarta, di daerah Marunda, bakal diresmikan. Ini dengan kapasitas 270.000 ton minyak goreng per tahun yang menelan investasi Rp 450 miliar.
Sinar Mas juga akan menyelesaikan pembangunan pabrik baru minyak goreng di Tarjun, Kalimantan Selatan. Pabrik ini dengan kapasitas produksi 340.000 ton per tahun dengan investasi sekitar Rp600 miliar. Bahkan, kapasitas pabrik di Tarjun ini juga akan dilipat gandakan produksinya pada tahun depan.
Sinar Mas saat ini sudah memiliki pabrik minyak goreng di Pulo Gadung, Jakarta, dengan kapasitas 100.000 ton per tahun. Selain itu juga di Surabaya sebanyak 470.000 ton per tahun dan Belawan (Medan) 470.000 ton per tahun. Seluruh produksi minyak goreng diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Sejumlah masalah dalam dan luar negeri yang dihadapi industri sawit nasional |
1. Masalah ketidakpastian hukum terhadap HGU perkebunan tetap menjadi kekhawatiran paling besar disebabkan : 2. Peraturan daerah (Perda) yang kontraproduktif masih bermunculan di daerah-daerah. 3. Kampanye negatif dari dalam dan luar negeri semakin gencar dilaksanakan LSM/NGO lokal dan asing terutama isu hak asasi manusia seperti child labour dan perampasan hak masyarakat adat. 4. Isu hambatan dagang juga bermunculan di berbagai negara seperti : |
Roda Ekonomi
Semua itu, hendak menggambarkan, betapa besarnya peran industri ini. Menjadi pendorong roda ekonomi bangsa.
Bukan hanya itu. Banyak negara pun, industri mereka, bergantung pada kelapa sawit asal Indonesia. Lihat saja data 2017.
Nilai ekspor crude palm oil atau CPO, pada tahun lalu, tercatat US$22,97 miliar atau sekitar Rp298,61 triliun, yang dipicu oleh di hampir semua negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mencatatkan kenaikan permintaan.
Nilai itu meningkat 26% dibandingkan dengan 2016, yang mencapai US$18,22 miliar. Nilai ekspor 2017 nilai tertinggi yang pernah dicapai sepanjang sejarah ekspor minyak sawit Indonesia.
Permintaan Dunia Terhadap Minyak Sawit Mentah dari Indonesia | |||
Negara | 2016 | 2017 | Persentase |
India | 5,79 juta ton | 7,63 juta ton | 32% |
Afrika | 1,52 juta ton | 2,29 juta ton | 50% |
China | 3,23 juta ton | 3,73 juta ton | 16% |
Uni Eropa | 4,37 juta ton | 5,03 juta ton | 16% |
Pakistan | 2,07 juta ton | 2,21 juta ton | 7% |
Amerika Serikat | 1,08 juta ton | 1,18 juta ton | 9% |
Bangladesh | 922.850 ton | 1,26 juta ton | 36% |
Timur Tengah | 1,98 juta ton | 2,12 juta ton | 7% |
Berdasarkan data yang diolah GAPKI dari berbagai sumber (Kementerian ESDM, Kementan, Kemenperin, BPS, GAPKI, APROBI, GIMNI, APOLIN, AIMMI dan BPDPKS) ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya) --tidak termasuk biodiesel dan oleochemical-- pada 2017 meningkat signifikan, 23% atau dari 25,11 juta ton pada 2016 menjadi 31,05 juta ton pada 2017.
Semua itu, dipicu oleh hampir semua negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mencatatkan kenaikan permintaan minyak sawitnya. India mencatatkan kenaikan permintaan yang signifikan baik secara volume maupun persentase. Sepanjang 2017, India meningkatkan permintaan minyak sawitnya menembus 7,63 juta ton atau naik 1,84 juta ton atau naik 32% dibandingkan dengan 2016. Di mana total permintaan 5,78 juta ton.
Indonesia bukan negeri yang hendak menghancurkan bumi demi rupaih. Sawit adalah tanaman yang cocok dengan iklim dan tanah di Indonesia. Jika kemudian ada yang merusak atau dianggap merusak dalam tata kelolanya, sikap kita, tidak harus membakar lumbung padi hanya untuk menangkap tikus. Dalam hidup, baik dan buruk seperti dua sisi mata uang.
Kini, hambatan yang membelit industri ini, harus segera dibenahi. Pelaku usaha dan pemerintah harus bekerja sama. Terutama menyingkirkan mereka yang merusak image positif industri ini. Berikan insentif bagi yang baik, hukum yang nakal adalah solusi terbaik. Dengan begitu, orang akan tahu, industri ini telah dikelola dengan baik, tanpa merusak bumi dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Pelaku usaha jangan dibiarkan bertarung atau menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka sangat sadar, investasi yang sudah dibenamkan di industri itu, tidak kecil sehingga mereka tahu betapa riskannya jika bermain api. Di Indonesia, sudah ada yang mengawasi kualitas industri in: RSPO dan ISPO.
Indonesia berkontribusi sebesar 58% dari produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan yang bersertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) di seluruh dunia. Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang mengatakan, ini diharapkan dapat terus meningkat pada masa mendatang. Saat ini produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan yang telah mendapat sertifikat RSPO secara global saat ini mencapai 12,15 juta ton. Ini sama saja dengan 17% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia. Jadi, bersama meraih sukses lah...