Bisnis.com, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) menganggarkan belanja modal senilai US$5,59 miliar pada 2018. Nilai belanja modal itu lebih tinggi 55,27% dibandingkan dengan 2017 yang senilai US$3,6 miliar.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Gigih Prakoso mengatakan, belanja modal itu mayoritas dialokasikan untuk bisnis sektor hulu migas sebesar 59% atau sekitar US$3,3 miliar.
"Pada sektor hulu, alokasi belanja modal digunakan untuk pengembangan lapangan Jambaran Tilung Biru, alih kelola blok Mahakam, dan pengembangan Geothermal," ujarnya Senin (29/1).
Gigih menuturkan, alokasi belanja modal terbesar kedua pada tahun ini dialokasikan untuk megaproyek pengolahan dan petrokimia sebesar 15%, atau senilai US$838 juta dari total belanja modal pada tahun ini.
"Pada sektor pengolahan ada beberapa proyek seperti RDMP [Refinery Development Master Plan], GRR [Grass Root Refinery], dan PLBC [Proyek Langit Biru Cilacap]," tuturnya.
Adapun, Pertamina hanya menganggarkan 3% atau US$167 juta dari total belanja modal untuk sektor pengolahan. Pada sektor pengolahan juga akan mengembangkan fleksibilitas minyak mentah kilang, dan pengembangan produk turunan minyak tersebut.
Lalu, Perusahaan pelat merah itu menganggarkan 15% atau sekitar US$838 juta untuk sektor pemasaran. Pada sektor itu, Pertamina berencana memperkuat infrastruktur demi menopang distribusi bahan bakar minyak (BBM), terutama untuk terminal BBM maupun pipa, serta digunakan untuk peremajaan kapal.
Sementara itu, Pertamina mengakui ada beberapa hambatan untuk bisa berinvestasi lebih besar lagi.
Gigih mengatakan, salah satunya alokasi investasi yang cukup besar setiap tahun sekitar US$5 miliar sampai US$6 miliar. Untuk itu, perseroan akan mencari mitra strategis untuk bisa memenuhi kebutuhan investasi yang cukup besar tersebut.
“Kami akan mencari mitra strategis yang memiliki kapasitas investasi yang besar,” ujarnya.
Selain itu, Gigih menyebutkan, pengadaan lahan juga menjadi kendala perseroan untuk berinvestasi. Pertamina pun melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah (Pemda) setempat untuk bisa menyelesaikan persoalan tersebut.
Lalu, Pertamina menyebut persoalan regulasi masih menjadi persoalan dalam membuka investasi masuk dari luar.
“Padahal, industri migas itu kan sifatnya berisiko dan berteknologi tinggi. Jadi, kami [Pertamina] memang membutuhkan pendanaan maupun transfer ilmu terkait perkembangan teknologi terkini. Selain itu, kami juga harus memperkuat struktur permodalan dan budaya kerja,” sebutnya.