Bisnis.com, JAKARTA – Kendati meyakini adanya prospek yang bagus dalam perekonomian global tahun ini, para Chief Executive Officer global tetap belum terlalu percaya diri dengan prospek pertumbuhan pendapatan perusahaannya sendiri.
Laporan Hasil Survei Chief Executive Officer (CEO) terbaru dari PricewaterhouseCoopers (PwC) menunjukkan, para bos menyatakan ‘sangat percaya diri’ dengan pertumbuhan pendapatan usahanya dalam 12 bulan ke depan hanya sebanyak 42%.
Untuk prospek selama 3 tahun ke depan, hanya 45% CEO yang bahkan mengaku sangat percaya diri. Laporan bertajuk The Anxious Optimist in the Corner Office ini berisi hasil survei terhadap 1.293 CEO dari 85 negara dengan kriteria tertentu.
Padahal, seperti diberitakan sebelumnya, sebanyak 57% CEO optimistis akan ada perbaikan ekonomi dunia. Persentase itu mencatatkan rekor lompatan tertinggi selama ini karena posisi tahun sebelumnya hanya mencapai 29%. Selain itu, untuk pertama kalinya sejak 2012, keyakinan ini mengambil porsi terbesar.
Apa yang sebenarnya dikhawatirkan para CEO tersebut? Secara global, tumpang tindihnya regulasi memang menjadi kekhawatiran utama. Namun, berdasarkan peringkat tertinggi, posisi selanjutnya justru ditempati oleh aspek terorisme, ketidakpastian geopolitik, serangan siber, ketersediaan keahlian, dan kecepatan perubahan teknologi.
Padahal, pada tahun lalu, lima ancaman setelah tumpang tindih regulasi, secara berurutan ditempati oleh ketidakpastian ekonomi, volatilitas nilai tukar, ketersediaan keahlian, ketidakpastian geopolitik, dan kecepatan perubahan teknologi.
ASIA PASIFIK
Artinya, ada pergeseran persepsi CEO terkait ancaman ke depan. Bagaimana dengan Indonesia? Tidak disebutkan secara detail per negara dalam laporan tersebut, tapi untuk melihat Indonesia, bisa merujuk pada regional Asia Pasifik.
Secara umum umum gambaran global ini tidak jauh berbeda dengan regional Asia Pasifik yang mencakup Indonesia di dalamnya. Ketersediaan keahlian kunci menjadi kekhawatiran terbesar dengan total CEO sebanyak 52%.
Selanjutnya, diikuti oleh variabel kecepatan perubahan teknologi (51%), terorisme (48%), serangan siber (44%), tumpang tindihnya regulasi (42%), dan ketidakpastian geopolitik (41%).
Statistik tersebut cocok dengan ungkapan para CEO di semua sektor ekonomi yang diwawancarai Bisnis selama ini, setidaknya sepanjang 2017 hingga awal tahun ini dalam rubrik ‘Lunch with CEO’, ‘BUMN Insight’, maupun ‘Policy Talk’.
Perkembangan teknologi yang memunculkan inovasi disruptif mewarnai strategi CEO dalam membawa perusahaan. Bukan hanya terkait instrument teknologinya yang mendukung efisiensi, tapi juga masalah keahlian sumber daya manusianya.