Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perindustrian terus mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan yang bertujuan untuk menghasilkan inovasi agar bisa dimanfaatkan oleh pelaku industri dan masyarakat.
Salah satu dukungan tersebut dilakukan oleh Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Jakarta yang sedang menganalisis hasil temuan Muryani yang berasal dari Blitar, Jawa Timur, mengenai alat pengolahan limbah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM).
Kepala BBKK Roy Sianipar mengatakan dari hasil analisis, pihaknya merasa perlu untuk berbagi pengetahuan dengan Muryani untuk pengembangan alat tersebut serta memfasilitasi penyusunan paten apabila sesuai persyaratan.
“Rencananya, kami akan ke Blitar hari ini,” kata Roy dalam keterangan resmi, Rabu (24/1/2018).
Menurutnya, BBKK telah merekomendasikan agar ketiga BBM yang dihasilkan dari alat milik Muryani, yaitu solar, minyak tanah dan premium, diuji karakteristik serta uji peforma terhadap mesin bermotor. Upaya ini bisa dilakukan di laboratorium Balai Teknologi Termodinamika Motor dan Propulsi (BT2MP) yang berada di bawah binaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Solar yang didapat dari olahan limbah plastik tersebut masih mengandung banyak pengotor dan kemungkinan cetane number masih rendah karena solar tersebut tidak didestilasi sesuai dengan titik didih solar, yakni 250°C hingga 350°C.
Untuk menindaklanjuti hasil penelitian tersebut perlu pembuatan standar produk-produk berupa bahan bakar dan pelarut yang berbahan baku limbah plastik dan pedoman proses pengolahan.
“Kemudian, perlu juga dilakukan kajian ekonomisnya dan dampak bahaya dari proses,” katanya.
Roy menyampaikan BBKK telah melakukan riset mengenai pengolahan sampah plastik jenis polietilena (kantong plastik) sejak 2009 menggunakan alat pirolisis skala 5 kg dan alat fraksinasi 5 liter. Produk yang dihasilkan ini memiliki karakteristik lebih tinggi dibandingkan dengan BBM, sehingga direkomendasikan oleh Lemigas untuk dijadikan pelarut, dan telah diuji mendekati jenis pelarut produksi PT Pertamina.
Adapun, jenis pelarut tersebut, yaitu Pertasol (10%), Minasol (10%), dan Low Aromatic White Spirites (30%) serta solar (40%) dengan cetane number sebesar 58 sesuai spesifikasi Euro4. Pelarut tersebut telah diaplikasikan di PT Sigma Utama untuk pelarut cat alkid dengan hasil uji melebihi bagus dari pelarut yang biasa digunakan.
Bahkan, lanjut Roy, gas yang tidak terkondensasi telah diuji di Lemigas dengan hasil mendekati karakteristik liquid petroleum gas (LPG). “Penelitian kami ini, baik dari alat dan prosesnya telah didaftarkan untuk dipatenkan pada 2015 dan sedang proses untuk mendapatkan granted,” ungkap Roy.
Sebelumnya, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara menyatakan pihaknya bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa atau United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia telah sepakat untuk menyusun rekomendasi mengenai kebijakan pengelolaan limbah industri di Tanah Air yang lebih baik.
Tujuan langkah sinergi ini antara lain untuk mewujudkan prinsip industri hijau serta peningkatan daya saing dan membangun manufakur nasional yang berkelanjutan.
“Untuk itu, kami memberikan apresiasi kepada BBKK, selaku unit litbang di bawah binaan BPPI Kemenperin yang telah berperan aktif dalam memberikan pembinaan tentang penggunaan teknologi pengolahan limbah yang sesuai standar,” tuturnya.
Ngakan menambahkan Kemenperin dan UNIDO juga terus melakukan sosialisasi agar penghematan energi dapat dilakukan oleh pelaku industri nasional sebagai komitmen dalam melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca.
“Penghematan energi bisa dimulai dari mematikan mesin yang sedang tidak diproduksi, mematikan lampu penerangan ketika tidak dibutuhkan atau mengatur pompa bahan bakar agar tidak menggunakan energi yang terlalu boros,” kata Ngakan.