Bisnis.com, JAKARTA—Untuk meningkatkan daya saing, Pupuk Indonesia Holding Company menyasar bisnis pupuk yang minim pemakaian gas.
Direktur Utama Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat mengatakan saat ini kapasitas terpasang pabrik didominasi oleh produk urea. Jenis pupuk ini membutuhkan bahan bakar gas dalam jumlah besar untuk produksi. Akibatnya Pupuk Indonesia mengalami tekanan pada laba karena harga gas untuk pupuk di Indonesia termasuk tiga besar termahal di dunia dibandingkan dengan kompetitor.
"Produksi urea terus. Tapi ke depan kami akan mengembangkan jenis NPK yang lebih minim dalam penggunaan gas," kata Aas, Selasa (23/1/2018) malam.
Urea merupakan produk pupuk kimia yang paling digemari dalam pertanian. Pupuk ini mengandung nitrogen tinggi yang mencapai 46%. Unsur ini berfungsi untuk menyuburkan tanaman. Jenis pupuk ini dihasilkan melalui pencampuran amoniak dan asam arang yang membutuhkan suhu tinggi. Selain pertanian versi sintetis juga digunakan secara komersial dan industri untuk memproduksi plastik, pakan ternak, lem, pembersih toilet, piring deterjen mesin cuci, produk pewarnaan rambut, pestisida, dan fungisida. Di dunia medis, urea digunakan dalam barbiturat produk dermatologis yang mengembalikan kelembaban kulit.
Adapun NPK merupakan pupuk dengan fungsi mirip, tetapi kandungan nitrogren lebih rendah yakni 16%. Jenis pupuk ini juga mengandung unsur untuk mendorong tumbuh kembang bunga dan buah.
Dengan perubahan strategi ini, Aas meyakini dapat meningkatkan kinerja Pupuk Indonesia. Apalagi saat ini kapasitas produksi urea perusahaan sudah berada di atas kebutuhan pertanian. "Kebutuhan urea sekitar 7 juta ton, kapasitas kami sudah di atas itu," katanya.
Agar persoalan gas tidak menekan kinerja perusahaan, Pupuk Indonesia juga melakukan revitalisasi untuk pabrik urea. Selain itu perusahaan juga melakukan gasifikasi batu bara di wilayah yang memiliki cadangan besar seperti Sumatra Selatan dan Kalimantan Timur.