Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta membenahi data produksi beras sehingga tidak memicu kebingungan di masyarakat.
Demikian kesimpulan dari pernyataan anggota Komisi IV DPR RI Ichsan Firdaus, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, dan Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya di Jakarta, Kamis (18/1/2018).
Anggota Komisi IV DPR RI Ichsan Firdaus meminta Kementerian Pertanian jujur soal data pangan terkait ketidaksinkronan fenomena harga beras yang meningkat di tengah klaim surplus dari kementerian tersebut.
"Saran saya, jujurlah dengan data. Jangan ada akrobatik yang menciptakan 'hantu-hantu' yang tidak selesai," katanya dalam diskusi Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (Pataka) bertajuk Mudah Mainkan Data Pangan di Jakarta, Kamis (18/1).
Hantu yang dimaksud klaim surplus, spekulan dan mafia beras. Menurut politisi Partai Golkar itu, masalah tersebut kerap kali muncul, tetapi belum ada upaya pemerintah mengatasinya, terutama terkait spekulan.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf, dalam keterangan resminya, menilai rendahnya kredibilitas data produksi beras yang dipublikasikan BPS dan Kementerian Pertanian menjadi satu dari tiga penyebab naiknya harga beras diikuti kelangkaan pasokan.
Baca Juga
Sementara itu, penyebab lainnya dipicu oleh sistem distribusi beras yang buruk karena terlalu panjang sehingga rawan aksi spekulasi. Penyebab ketiga adalah peran Bulog yang belum optimal menopang pasokan beras nasional melalui ooerasi pasar beras.
Jangan ada akrobatik yang menciptakan 'hantu-hantu' yang tidak selesai...
Oleh karena itu, KPPU menyarankan agar dilakukan audit data produksi beras di BPS dan Kementan bersama dengan perguruan tinggi sehingga tidak terus menerus menjadi sumber perdebatan.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya mengatakan Kementerian Pertanian harus memperbaiki data riil produksi beras domestik sebagai bahan rujukan mengeluarkan kebijakan terkait persediaan beras.
"Setahun ke depan perlu memperbaiki data riil produksi beras untuk kebijakan persediaan pada 2019," kata Berly dalam pernyataan di Jakarta, Senin.
Berly menjelaskan, selama ini ketidakuratan data panen raya domestik telah mempengaruhi persediaan beras di lapangan.
Menurut dia, data yang disajikan oleh Kementan bukan data real produksi namun berdasarkan data produksi rata-rata.
Berly menyebutkan data yang disajikan Kementan bisa menghambat pemerintah dalam menganalisa jumlah kebutuhan dengan pasokan beras di daerah.
"Apalagi saat ini indikasinya suplai beras menurun, sehingga harga meningkat," jelas pengajar dari Universitas Indonesia itu.
Berly mengungkapkan jika asumsi yang digunakan cukup jauh dari kondisi yang sebenarnya di lapangan maka perkiraan yang dihasilkan tentu akan menjadi bias.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan wewenang untuk mempublikasikan rilis tentang data produksi beras ada pada Kementerian Pertanian selalu kementerian sektoral yang menangani produksi komoditas tersebut.
"Memang, kewenangannya dari Kementerian Pertanian. BPS sampai sekarang belum mengeluarkan lagi data produksi beras," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti.
Yunita menegaskan BPS tidak lagi mengeluarkan data produksi beras, melainkan hanya data berupa ekspor dan impor beras.
Hal itu Juga diakui Direktur Statistik Distribusi Anggoro Dwitjahyono. Menurut dia, data produksi beras tidak lagi dipublikasikan oleh BPS, yang terakhir dipublikasikam di situs resmi lembaga tersebut pada 2015. "Sampai dengan tahun tertentu ada di web kami," kata Anggoro.