Bisnis.com, JAKARTA - Sejalan dengan kegiatan Konvensi-Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC COP-23) yang akan diadakan 6–17 November di Bonn Jerman, 50 orang pemuda dari Papua mengikuti kegiatan kemah hutan Papua.
Mereka menyerukan pentingnya kelestarian hutan di Papua dari ancaman pengembangan perkebunan kelapa sawit demi menjaga hak-hak masyarakat adat.
Manajer Program Bentara Papua Yanuarius Anouw mengatakan kawasan hutan lembah Klaso yang terdapat di Distrik Klaso dan Distrik Moraid, Kabupaten Sorong, Papua Barat, sedang terancam dan menjadi incaran perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Menurut dia, penguasaan oleh perusahaan perkebunan dapat mengakibatkan penghancuran hutan dan wilayah kelola rakyat.
"Para peserta kemah hutan Papua yang merupakan pemuda adat dari berbagai wilayah Papua diberikan pengetahuan bagaimana kondisi hutan jika dialihfungsikan untuk perkebunan sawit dan dapat berakhir pada krisis sosial budaya dan ekonomi, penghancuran sumber pangan dan bencana ekologis serta perubahan iklim," katanya dalam siaran pers, Senin (13/11/2017).
Luas hutan Papua (Papua dan Papua Barat) mencapai 29,4 juta hektare atau 35% dari total luas hutan Indonesia, menjadikan hutan Papua sebagai hutan terluas di Asia Tenggara sekaligus berperan sangat penting dalam pencapaian target penurunan emisi rumah kaca Indonesia sebesar 26% pada 2020.
Hutan Papua memiliki potensi emisi gas rumah kaca masing-masing 17,4 gigaton dan 6 gigaton karbondioksida.
Kepala Distrik Klaso sekaligus Ketua Dewan Suku Moi Kalaben Dance Ulimpa mengatakan sudah beberapa tahun belakangan masyarakat adat Suku Moi di Distrik Klaso, Sorong, Papua Barat, berusaha agar hutan tempat mereka tinggal tidak dibuka sebagai perkebunan kelapa sawit.
“Akan tetapi, sampai saat ini kami merasa bahwa suara kami tidak cukup keras untuk didengar apalagi mendapat perhatian, maka dari itu, melalui program Kemah Hutan Papua,” kata Ulimpa.
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Moi Se-Indonesia (Himamsi) Tanah Maladum, Isai Onesimus Paa mengatakan hubungan masyarakat adat Papua dengan tanah dan hutan adat sangatlah kental.
"Konflik sumber daya hutan yang tinggi di Papua terus meningkat seiring dengan meningkatnya investasi yang mngalihfungskan hutan untuk menjad perkebunan sawit," paparnya.
Ada sekitar 250 kelompok suku adat di Papua di dalamnya masih dibagi dalam unit kelompok sub suku, marga yang memiliki otoritas adat untuk pengaturan ruang dan hutan adatnya.
Para pemuda berharap momentun COP 23 di Bonn tidak hanya menghasilkan keputusan mengenai perubahan iklim yang sebatas diimplementasikan pada kalangan elite, tetapi juga menggunakan perspektif masyarakat adat sehingga perubahan iklim menjadi konsep yang membumi.