Bisnis.com, JAKARTA—Pertumbuhan industri grafika dalam negeri pada akhir 2017 diproyeksikan tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Ahmad Mughira Nurhani, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia, mengatakan penurunan industri grafika pada tahun ini didorong oleh sektor percetakan buku dan majalah.
"Tahun-tahun sebelumnya industri grafika bisa tumbuh 5%—7%. Untuk tahun ini, saya pikir akan turun karena banyak teman-teman penerbitan buku dan majalah yang omzet dan produksinya turun," ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (24/10/2017).
Mughi menuturkan penurunan bisnis percetakan buku dan majalah disebabkan peralihan ke media digital dan kendala produksi, seperti harga kertas yang cenderung tidak stabil. Bahkan, industri percetakan buku dan majalah mengalami kesulitan bahan baku di saat harga kertas sedang meningkat.
Menurutnya, pabrikan kertas lebih banyak memenuhi kebutuhan pasar ekspor dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri. "Bahkan untuk kertas daur ulang pun saat ini juga sulit. Ini efek pengurangan pemakaian kertas di Amerika dan Eropa, sehingga menghambat pasokan kertas bekas," katanya.
Untuk mengatasi masalah kesulitan bahan baku kertas, Mughi menyatakan pihaknya telah berbicara dengan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) terkait prioritas pemenuhan kebutuhan kertas dalam negeri dan juga kepada Kementerian Perindustrian. Namun, hingga kini, lanjutnya, belum ada langkah nyata untuk mengatasi masalah tersebut.
"Pemerintah harus turun tangan, kalau tidak bisa-bisa pengusaha percetakan banyak yang tutup dan akhirnya produk dari luar negeri masuk ke Indonesia," kata Mughi.
Adapun, dengan masalah pasokan bahan baku tersebut, para pelaku industri percetakan buku dan majalah mencari sumber bahan baku lain, yaitu dengan mengimpor kertas. Namun, Mughi menyebutkan harga kertas impor lebih tinggi dibandingkan kertas produksi dalam negeri. Hal ini menyebabkan harga produk percetakan juga ikut terkerek.