Bisnis.com, JAKARTA — Menteri ESDM Ignasius Jonan secara tegas menolak skema pengaturan harga batu bara untuk pembangkit listrik, yaitu cost plus margin, yang diajukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Jonan menjelaskan, skema cost plus margin dalam menetapkan harga batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dinilai sudah using.
Menurutnya, skema tersebut tidak mendorong produsen dan pembeli batu bara untuk lebih meningkatkan efisiensinya. Bahkan, patokan cost atau ongkos produksinya rawan dipermainkan.
"Cost plus margin itu konsep yang sudah usang dan gak mendorong masing-masing pihak melakukan kegiatan berusaha yang efisien. Bisa saja berpikiran cost jangan US$90, tapi kita bikin saja US$200 supaya margin lebih besar," tuturnya di kantor Kementerian ESDM, Kamis (28/9).
Adapun, PT PLN (Persero) mengusulkan agar harga jual batu bara untuk seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di dalam negeri menggunakan skema cost plus margin. Hal tersebut untuk mengantisipasi fluktuasi harga batu bara internasional.
Saat ini, penggunaan skema cost plus margin untuk penjualan batu bara bagi pembangkit listrik baru diterapkan untuk PLTU mulut tambang. Margin-nya sesuai kesepakatan antara penambang dan pengembang listrik, namun dibatasi antara 15%-25%.
Namun, tidak seperti yang diungkapkan Jonan, komponen cost pun sebenarnya memiliki patokan, dan tidak bisa dinaikturunkan begitu saja.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No. 958.K/32/DJB/2015, ada rentang nilai untuk masing-masing komponen penyusun cost, mulai dari pengupasan, pengangkutan, penggalian, pengolahan, overhead, iuran tetap, asumsi royalti, gross margin, hingga amortisasi dan depresiasi.
Bahkan, untuk komponen pengangkutan dari lokasi pengolahan ke PLTU, nilainya tergantung kesepakatan antara produsen dengan pembeli batu bara.