Bisnis.com, JAKARTA- Ketua Umum Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) Putri K Wardhani menilai apabila pengawasan impor direlaksasi akan berdampak terhadap industri tak terkecuali kosmetik. Saat ini, industri pengolahan merupakan tumpuan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
“Tentu [relaksasi pembatasan impor] juga merupakan ancaman untuk industri kosmetik dalam negeri,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.
Lebih lanjut, Putri menilai masuknya produk impor yang berlebihan dapat membuat industri nasional kehilangan daya saing. Apalagi, industri saat ini dibebankan dengan biaya produksi yang masih tinggi.
“Jangan heran kalau [lama-kelamaan] industri pindah ke luar atau produsen lebih memilih impor barang dari luar sesuai standar dan formulasi,” imbuhnya.
Di sisi lain, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia ( Gapmmi) Adhi Lukman menyatakan pemerintah harus mempertimbangkan daya saing industri dalam langkah penyederhanaan sejumlah lartas. Pemerintah harus membuat timeline yang jelas mengenai penyederhanaan yang dilakukan.
“Kalau untuk impor bahan baku saya kira bagus karena lebih memperlancar bongkar muat,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai pemerintah tidak boleh memukul rata seluruh kebijakan penyederhanaan lartas yang tengah dikerjakan. Untuk impor bahan baku yang memiliki substitusi misalnya, impor harus tetap dibatasi.
“Kalau banjir impor khususnya barang konsumsi akan memukul industri lokal,” paparnya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan pihaknya sepakat dengan perubahan aturan yang dilakukan oleh pemerintah. Pasalnya, sistem tersebut menjadi jalan keluar bagi industri kecil dan menengah (IKM) setelah ditertibkannya impor borongan.
Dengan aturan yang baru, sambungnya, akan diketahui siapa perusahaan yang melakukan importasi tekstil dan produk tekstil. Selama ini, melalui mekanisme impor borongan, pemerintah kesulitan untuk mengawasi produk yang didatangkan secara borong.
“Dulu dengan sistem impor borongan, importir dan pemilik barang biasanya berbeda. Dengan aturan baru, pemilik barang ya mereka yang mengimpor,” jelasnya.
Ade menilai untuk industri atau perusahaan pemegang API-P tidak mengalami perubahan sistem importasi yang signifikan. Namun, kelonggoran yang diberikan kepada pemilik API-P menurutnya bakal membuat Indonesia dapat lebih mengikuti irama perdagangan internasional.
“Kalau terjadi injury di industri nasional kita bisa langsung tau siapa yang dikenakan karena datanya kan bisa kelihatan semuanya melalui PLB,” imbuhnya.
Seperti diketahui, selain melonggarkan aturan impor baja dengan tonase di bawah satu ton, pemerintah juga memberikan relaksasi bagi pemegang angka pengenal importir umum (API-U) untuk mengimpor produk TPT.
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Permendag Nomor 85 Tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.
Dalam rancangan beleid yang diterima Bisnis, para pemegang API-U mendapatkan izin untuk mengimpor tekstil dan produk tekstil. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa izin impor tidak hanya dapat diberikan kepada pemegang angka importir produsen (API-P) tetapi juga pemilik API-U.