Binsis.com, JAKARTA - Isu impor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dari Singapura menjadi bola liar. Semakin liar ketika dikaitkan dengan politik dan pemilihan presiden 2019. Padahal, ini hanya soal kerja sama dan perdagangan biasa saja yang wajar.
Mari kita lihat posisi Indonesia sebagai produsen gas. Ketregantungan Indonesia terhadap energi fosil seperti minyak bumi, gas, dan batu bara masih sangat besar.
Berdasarkan data Dewan Energi Nasional, kondisi pada 2015, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) masih yang tertinggi, yaitu 46%, disusul oleh batu bara 26%, gas bumi 23%, dan energi baru terbarukan hanya 5%.
Indonesia juga menjadi importir minyak dan BBM, sekitar 50% kebutuhan BBM di Tanah Air masih diimpor baik dalam bentuk minyak mentah maupun BBM. Sebaliknya, Indonesia menjadi eksportir batu bara dan gas alam dalam bentuk LNG. Pemerintah juga masih menyubsisi energi meskipun terus turun sejak 2015 berkah dari pelemahan harga minyak mentah dunia. Subsidi energi pada 2014 mencapai Rp400 triliun, turun menjadi Rp138 triliun pada 2015, Rp120 triliun pada 0216, dan pada tahun ini sekitar Rp103 triliun.
Persoalan yang cukup pelik adalah beberapa komoditas energi seperti gas alam masih diekspor (40%), dan batu bara juga masih dijual ke luar negeri (80%). Padahal, kedua sumber daya alam itu bisa dioptimalkan untuk kebutuhan energi di dalam negeri.
Pemanfaatan gas dan batu bara bisa mengurangi ketergantungan negeri ini terhadap impor BBM yang menguras devisa cukup besar. Ini menjadi alasan pemerintah cukup serius merancang peta jalan mobil listrik, yaitu untuk menurunkan konsumsi BBM, yang saat ini sangat bergantung terhadap impor. Tujuan lainnya untuk mengurangi emisi karbondioksida sejalan dengan Kesepakatan Paris 2015 soal pengurangan pemanasan global.
Bahan bakar mobil listrik itu bisa dihasilkan dari pembangkit listri berbahan bakar gas dan batu bara, yang saat ini kedua sumber energi itu masih diekspor.