Bisnis.com, JAKARTA— Rendahnya akreditasi madrasah, baik madrasah ibtidaiyah (MI) dan madrasah Tsanawiyah (Mts) di Indonesia menjadi tantangan tersendiri untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan ini setara dengan akreditasi sekolah umum.
Mengutip data Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK), jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 148.373 dan MI mencapai 25.832 unit, sedangkan jumlah SMP 38.898 unit dan MI sebanyak 18.532.
“Kualitas madrasah sebenarnya tidak kalah dengan sekolah umum, tetapi kelemahannya tidak tersebar secara merata. Proporsi madrasah yang mendapatkan akreditasi A dan B tidak jauh berbeda dengan sekolah umum, tetapi untuk C, madrasah lebih banyak,” kata Kepala Badan Litbang, Pendidikan dan Pelatihan Tinggi Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) Abd. Rahman Mas’ud, di Jakarta, Rabu (30/8/2017).
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAP S/M) mencatat sekolah yang mendapatkan akreditasi A sebanyak 39.771, akreditasi B mencapai 87.588 sekolah, dan akreditasi C berjumlah 27.408 sekolah. Adapun, total sekolah yang tidak terakreditasi adalah 4.058 unit.
Dari jumlah tersebut, Rahman menyebutkan proporsi sekolah umum yang mendapatkan akreditasi A mencapai 28%, sedangkan sisanya sekitar 23% adalah madrasah. Begitupula dengan akreditasi B yang diraih sekolah umum sebanyak 53%, sedangkan madrasah 52%.
Jika dirinci, rendahnya akreditasi ini juga lebih banyak disebabkan oleh minimnya kualitas madrasah swasta. Di level MI saja, data PDSPK menunjukkan 93% dari total 25.832 MI adalah MI swasta.
Per 2016, Kemenag mencatat sekitar 52,74% madrasah dari total 24.560 terakreditasi B, sedangkan 16,46% menyandang akreditasi A, 16% berakreditasi C, dan sisanya tidak terakreditasi.
Hal yang juga terjadi di level Mts dengan kontribusi akreditasi terbanyak adalah B sebanyak 47,46% dari total Mts yakni 16.934 unit.
Pada saat yang sama, Kepala Bidang Litbang Pendidikan Agama dan Pendidikan Tinggi Kemenag Nurudi mengungkapkan persoalan yang harus dihadapi oleh madrasah swasta memang cukup pelik.
“Itu bisa dilihat dari minimnya bantuan dana yang pemerintah berikan, karena umumnya pemerintah memberikan bantuan yang lebih besar kepada madrasah negeri. Pendanaan ini juga menyangkut kualitas dan kuantitas sarana prasarana serta tenaga pendidik,” tuturnya.
Soal tata kelola juga mendapatkan sorotan cukup tajam karena rata-rata madrasah swasta dikelola oleh sebuah yayasan secara turun temurun sehingga nyaris tidak ada perubahan cara pengajaran di tengah perubahan yang pesat saat ini.
Selain di tataran akreditasi, madrasah seluruh Indonesia juga harus memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan Kemdikbud telah mengeluarkan Permendikbud No.23 Tahun 2013 terkait Pemenuhan SPM untuk Pendidikan Dasar.
Pada 2014, pemerintah sempat mengadakan kajian status awal pemenuhan SPM. Kajian tersebut menemukan beberapa poin penting, misalnya siswa, tenaga pendidik, dan sarana prasaran yang tidak memenuhi indicator SPM di madrasah.
“Masih banyak guru yang belum memegang sertifikasi dan gelar pendidikan S1 dan D4. Jika di Mts negeri jumlah guru yang sudah memenuhi kriteria tersebut mencapai 52,5%, hanya 10% Mts swasta yang mampu mencapai standar itu,” tekannya.
Menurut, Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag A.Umar, pengelolaan madrasah tidak bisa sepenuhnya dikelola oleh Kemenag.
Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk terlibat aktif dalam peningkatan kualitas madrasah di daerah. “Kami tidak bisa sendiri melakukan pengelolaan dan pengawasan keberadaan madrasah. Pemerintah daerah seharusnya juga terlibat aktif dalam membina madrasah terutama yang swasta," tuturnya.
Padahal, Kemenag mengklaim keberadaan madrasah menyumbangkan kesuksesan pendidikan nasional hingga 20%-30%.