Bisnis.com, JAKARTA - Pabrikan semen sulit meningkatkan angka penjualan saat kapasitas terpasang jauh melebihi permintaan pasar domestik.
Ketua Asosiasi Semen Indonesia Widodo Santoso menyatakan harga semen anjlok sejak akhir 2015.
“Dengan kondisi pasar yang oversupply mulai akhir 2015, harga semen itu setiap tahun turun 8%—10%,” ujarnya di Jakarta, Kamis (24/8/2017).
Widodo mengumpamakan harga setiap sak semen di Pulau Jawa pada akhir 2015 masih senilai Rp70.000 per sak. Pada semester pertama tahun ini, satu sak semen turun menjadi Rp55.000—Rp60.000.
Begitu juga dengan harga semen di wilayah timur Indonesia, yang awalnya senilai Rp80.000-Rp85.000 per sak turun 15% menjadi senilai Rp65.000—Rp70.000 per sak. Bahkan, harga semen di Papua yang awalnya Rp1,5 juta per sak menjadi Rp400-500 ribu per sak.
“Harga semen di Indonesia sekarang berada di bawah harga rata-rata pasar Asean,” ujarnya.
Menurutnya, kapasitas terpasang seluruh pabrikan semen di Indonesia mencapai 106 juta ton. Angka itu jauh melampaui permintaan tahunan sebanyak 63 juta ton.
Kondisi kelebihan pasokan itu bermula ketika pabrikan lokal berlomba-lomba berekspansi memenuhi permintaan domestik pada 2014.
“Saat itu kita masih impor karena kapasitasnya masih pas-pasan. Baru pada 2015 banyak bermunculan pabrik semen yang baru dibangun,” ujarnya.
Widodo menyatakan pemerintah dan investor tak memperhitungkan pertumbuhan konsumsi tahunan ketika mengembangkan kapasitas. “Investasinya kebablasan, pertumbuhan kapasitas semen tidak sejalan dengan kalkulasi pertumbuhan konsumsinya,” ujarnya.
Kenaikan permintaan semen setiap tahun rata-rata sebesar 5% atau setara 3 juta ton. Dengan demikian, titik keseimbangan antara permintaan dan kapasitas baru tercapai dalam 10 tahun ke depan. “Bahkan sampai 2026 kapasitasnya masih lebih tinggi,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seyogyanya perlu memoratorium penerbitan izin pabrik semen baru mulai tahun ini. “Dengan catatan izin yang sudah keluar boleh tetap dijalankan dulu. Tujuannya supaya utilisasi bisa lebih optimal, kalau utilisasinya hanya 40% kan mana bisa untung, malah rugi semua,” ujarnya.