JAKARTA — Target penerimaan perpajakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 ditetapkan relatif tinggi. Tak tanggung-tanggung target penerimaan pada 2018 diproyeksikan naik lebih dari Rp100 triliun.
Berdasarkan data yang diperoleh Bisnis, penerimaan perpajakan di RAPBN 2018 dipatok di angka Rp1.609,3 triliun atau lebih tinggi dibandingkan dengan APBN Perubahan 2017 senilai Rp1.472,7 triliun. Penerimaan perpajakan tersebut salah satunya ditopang oleh penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp852,9 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) senilai Rp535,3 triliun.
Jika mengutip Nota Keuangan 2018, peningkatan target penerimaan tersebut didukung oleh perbaikan kondisi ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan tahun ini. Di samping itu, peningkatan tersebut juga dipengaruhi upaya untuk mengoptimalkan basis data yang diperoleh dari pengampunan pajak. Adapun kebijakan secara umum yang
bakal ditempuh pemerintah untuk mengamankan penerimaan pajak di antaranya pertama, optimalisasi penggalian potensi dan pemungutan perpajakan melalui pendayagunaan data serta sistem informasi perpajakan yang up to date dan terintegrasi.
Kedua, meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak dan membangun kesadaran pajak untuk menciptakan ketaatan membayar pajak. Ketiga, memberikan insentif perpajakan
secara selektif untuk mendukung daya saing industri nasional dan tetap mendorong hilirisasi industri. Keempat, memengaruhi konsumsi masyarakat terutama terkait dengan Barang Kena Cukai (BKC) untuk mengurangi eksternalitas negatif.
Kelima, mengoptimalkan perjanjian pajak internasional dan mengefektifkan implementasi automatic exchange of information (AEoI). Sedangkan yang terakhir, pemerintah akan melakukan redistribusi pendapatan terkait upaya menurunkan inequality. Di samping kelima langkah tersebut, pemerintah juga mengupayakan untuk melakukan revisi undang-undang (RUU) Perpajakan meliputi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan RUU Bea Materi.
Dalam pembahasan RAPBN 2018 beberapa waktu lalu, DPR secara umum fokus membahas tantangan pemerintah pada 2018 masih seputar soal peningkatan pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, pengelolaan utang, dan defi sit anggaran. TARIF PPH Sementara itu, terkait dengan tarif pajak panghasilan, pemerintah didorong untuk mereformasi tarif PPh tersebut. Pasalnya, tarif yang berlaku saat ini dinilai masih timpang, apalagi melihat perbedaan realisasi penerimaan PPh wajib pajak orang pribadi karyawan dengan
WP nonkaryawan. Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan ketimpangan itu ditunjukkan dari grafi k persentase kenaikan
beban pajak marjinal yang menunjukkan semakin tinggi tingkat pendapatan ternyata menanggung beban pajak yang semakin kecil.
"Kelompok menengah justru menanggung marjin kenaikan tertinggi, ini menunjukkan progresivitas kita rendah,” kata Prastowo, Selasa (15/8). Prastowo mencontohkan, kelompok dengan penghasilan Rp100 juta—Rp300 juta memiliki beban kenaikan rasio PPh yang dibayarkan hingga 40%. Hal itu jauh berbeda dengan kelompok yang berpenghasilan Rp400 juta—Rp500 juta yang kenaikan rasio PPh yang dibayarkan kurang dari 5%.
“Ini menunjukkan hipotesis kami benar, bahwa pemerintah perlu mereformasi struktur tarif,” ungkapnya. Kendati demikian, reformasi tarif pajak perlu didahului revisi UU PPh. Sebab undang-undang tersebut merangkum semua aturan termasuk besaran tarif yang diberlakukan kepada wajib pajak. Adapun, informasi dari pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan, revisi Undang-Undang PPh dan pajak pertambahan nilai (PPN) terus didiskusikan di internal Kemenkeu.
Diskusi itu dilakukan supaya poin yang jadi fokus revisi bisa diimplementasikan. Otoritas keuangan tak ingin apabila revisi UU tersebut justru tak optimal lantaran tidak bisa
diimplementasikan. Di tengah proses pembahasan internal, otoritas fi skal juga itu mengkomparasikan kebijakan perpajakan domestik dengan negara lain. Diharapkan, dari proses perbandingan itu, pemerintah bisa menentukan prioritas perbaikan undang-undang misalnya soal policy atau administrasinya.
Namun, pada prinsipnya pemerintah menganggap orang yang memiliki penghasilan tinggi seharusnya membayar pajak lebih tinggi dibandingkan yang memiliki penghasilan rendah. Akan tetapi, untuk menentukan pajak yang harus dibayar, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak perlu melihat profi l wajib pajak terlebih dahulu. Apabila wajib pajak
memperoleh penghasilan dari pekerjaan maka akan dipotong pemberi kerja. Adapun wajib pajak yang self employed, mereka akan melaporkan penghasilannya sesuai prinsip self assesment. Sejalan dengan hal itu, pemerintah pada tahun kedua reformasi pajak akan fokus ke self assessment yang ujungnya pengawasan. Untuk melakukan pengawasan pemerintah perlu pembanding.
Tanpa data pembanding mereka sulit mengontrol WP. Pasalnya sesuai prinsip self assesment apa yang disampaikan wajib pajak akan dianggap benar, otoritas pajak pun tak bisa berbuat banyak kecuali menemukan atau mempunyai data pembanding tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu membenarkan bahwa mereka tengah membahas undang-undang tersebut. Proses pembahasan sudah masuk ke kajian akademis. Selain itu tim reformasi pajak juga disebar ke berbagai penjuruuntuk mengetahui perbandingan kebijakan perpajakan dengan negara lain.