Bisnis.com, JAKARTA— Pengetatan kepatuhan terhadap wajib pajak setelah tax amnesty dikhawatirkan bakal mendongkrak penyerapan produk barang impor berisiko ketimbang produk hasil industri.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan tak sedikit pembeli produk tekstil hulu dan antara yang mengklaim sebagai pedagang kecil dan industri skala kecil. “Makanya mereka lebih cenderung memilih untuk mendapat barang bukan dari industri, tapi dari impor. Karena kalau dia dapat barang dari importir, mereka tidak perlu menyertakan faktur pajak,” ujar dia.
Menurutnya, pemerintah mesti mengutamakan penyerapan produk tekstil hulu ketimbang membuka peluang importasi dalam skala besar.
“Ditjen Pajak kan tidak dapat PPh dari importir, harusnya kami sebagai produsen dalam negeri yang dilindungi. Supaya minimal bisa menjadi tuan rumah di dalam negeri. Kalau bisa kurangi importir berisiko, saya yakin penerimaan pajak pemerintah juga terbantu,” ujar dia.
Ade menyatakan penjualan tekstil pada semester pertama lebih banyak bertumpu dari pasar ekspor. Tren penjualan produk tekstil pada pasar ekspor menunjukkan tren pelemahan dalam beberapa tahun terakhir.
“Tapi justru ekspor ada kenaikan 0,6% di semester pertama. Permintaannya turun tapi nilainya yang naik. Artinya apa? Daya saing kita membaik,” ujar Ade.
Salah satu penyebab peningkatan itu antara lain banyaknya relokasi industri tekstil ke Jawa Tengah. Hasilnya, industri menjadi lebih produktif dan efisien karena pola pengupahan yang lebih kompetitif.
“Untuk meningkatkan ekspor lagi, insentif pendorong yang dibutuhkan adalah perluasan akses pasar. Kalau kita bisa bebas bea masuk ke Uni Eropa, saya yakin paling tidak ekspor ke Eropa bisa naik 100%,” uja dia.