Bisnis.com, JAKARTA — Investor menanti kepastian harga gas yang ekonomis sebelum merealisasikan pembangunan pabrik petrokimia di blok Masela dan Teluk Bintuni.
Perusahaan pupuk pelat merah PT Pupuk Indonesia (Persero) menganggap kendala yang masih mengganjal bagi calon investor di dua lapangan gas abadi itu adalah asumsi penetapan harga gas yang masih terlampau tinggi.
Hasil feasibility study perseroan bersama mitra asal Jerman, Ferrostaal, mengasumsikan struktur biaya produksi yang ekonomis dari gas senilai US$3—4 dolar per million metric british thermal unit di Bintuni.
“Investor masih terganjal dengan asumsi harga gas yang ditawarkan. Angka keekonomian yang masuk itu US$3 — US$4 per MMBTU, seandainya masih di atas itu, maka pemerintah perlu sediakan berbagai insentif untuk menjamin resiko investasi,” ujar Kepala Corporate Communication PT Pupuk Indonesia, Wijaya Laksana kepada Bisnis, Selasa (4/7/2017).
Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan jalan keluar bila akhirnya harga gas yang ditetapkan tak mampu berada di level itu. Pupuk Indonesia untuk sementara baru menjalin kemitraan dengan Ferrostaal di proyek Petrokimia Bintuni. Komitmen investasi yang direncanakan untuk pembangunan klaster Petrokimia itu senilai US$2,8 miliar dengan target operasi secara komersial pada 2021.
Pupuk menyambut positif rencana pemerintah untuk mengundang investor lain ikut menggarap klaster petrokimia Bintuni. Asalkan, komitmen alokasi pasokan gas yang sudah ditetapkan tidak kembali mengalami penyesuaian ulang. “Supaya komitmen alokasi gas yang kita mau, yaitu 240 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd), bisa dijamin tetap aman,” ujar Wijaya.
Pemerintah mengundang salah satu pabrikan asal Korea Selatan, LG, untuk membangun industri petrokimia di Blok Masela dan Bintuni. LG berencana menanamkan modal senilai US$1,3 miliar untuk membangun pabrik methanol dengan kapasitas produksi sebesar 1 juta ton per tahun. LG meminta ketersediaan gas sebanyak 90 juta kaki kubik (million standard cubic feet per day/MMscfd) dengan harga senilai US$ 1 per MMBTU.