Bisnis.com, JAKARTA -- Praktik penyelundupan benih lobster akhir-akhir ini semakin meningkat. Regulasi yang diikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang larangan ekspor benih lobster belum cukup efektif mengurangi eksploitasi benih lobster secara ilegal.
Menurut Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, dalam tiga tahun terakhir, nilai benih lobster yang diselundupkan keluar negeri dan digagalkan oleh aparat semakin meningkat.
Sampai dengan Juni 2017, penyelundupan benih lobster yang digagalkan telah mencapai Rp158 miliar dengan 13 kali upaya penyelundupan.
Angka ini jauh lebih tinggi dari 2015 dan 2016 yang masing-masing hanya Rp27,3 miliar dan Rp71,7 miliar.
Data itu merupakan hasil monitoring dari berbagai macam kasus yang digagalkan oleh aparat terkait, yakni Bareskrim Polri, Badan Karantina Ikan KKP, dan beberapa kepolisian daerah, seperti Polda Jawa Timur dan Lampung.
"Hal ini tentunya sangat memprihatinkan dan bukan tidak mungkin nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat praktik ini sesungguhnya bisa lebih besar mengingat benih lobster yang lolos jumlah bisa lebih banyak," kata Koordinator Nasional DFW-Indonesia M. Abdi Suhufan dalam siaran pers, Minggu (2/7/2017).
Berdasarkan pemantauan DFW-Indonesia selama Juni, tercatat empat kali upaya penyelundupan benih lobster berhasil digagalkan, yakni di Bandara Adi Sucipto Jogyakarta, Lombok Nusa Tenggara Timur, Banyuwangi dan Soekarno-Hatta Jakarta. Dalam empat kasus tersebut, berhasil digagalkan penyelundupan 273.191 benih lobster senilai Rp35 miliar.
DFW menyarankan agar aparat terkait memperketat pemeriksaan di beberapa bandara utama, seperti Ngurah Rai Bali, Soekarno Hatta Jakarta, Lombok, dan Palembang, terutama untuk penumpang dan pesawat tujuan Batam, Singapura, dan Vietnam.
Pelarangan penangkapan dan ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/2016.
Sementara itu, angka penyelundupan benih lobster yang tinggi disebabkan besarnya permintaan pasar internasional dengan harga tinggi, terutama di Vietnam. Di sisi lain, benih lobster di Vietnam semakin berkurang karena mereka sudah lama mengeksploitasi dan mengembangkan budidaya lobster.
“Vietnam selama ini dikenal sebagai negara produsen penghasil lobster dan mereka mempunyai politik dagang mempertahankan image tersebut,” ujar peneliti DFW-Indonesia, M. Arifuddin.
DFW menilai penyelundupan yang marak terjadi a.l. karena kegiatan budidaya lobster di Indonesia belum dikembangkan secara serius oleh pemerintah dan kelompok pembudidaya. Beberapa masalah dalam budidaya lobster adalah teknologi reproduksi, pakan, dan penyakit, yang belum teratasi. KKP semestinya lebih proaktif melakukan promosi dan pendampingan terhadap kelompok pembudidaya agar mereka mau membudidayakan lobster.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu segera melakukan perubahan secara fundamental terhadap program budidaya lobster. Tidak sekadar menyediakan dan membagikan bibit secara gratis kepada kelompok, tapi memberikan pendampingan secara intensif,” ujar Abdi.
KKP, kata dia, juga perlu segera menetapkan sentra pengembangan budidaya lobster berdasarkan lokasi yang dekat dengan ketersediaan benih alam dan memberikan dukungan terhadap pengembangan riset dan teknologi budidaya sehingga proses budidaya dari hulu ke hilir menjadi jelas.
Sejauh ini, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Jawa Timur merupakan lokasi potensial pengembangan budidaya lobster di Indonesia.
Seperti diketahui, kegiatan budidaya lobster membutuhkan durasi 1-2 tahun dan ketelatenan mengingat lobster sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Budidaya lobster juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit sehingga diperlukan konsistensi program dan kesungguhan pemerintah menjadikan lobster sebagai salah satu komoditas unggulan perikanan Indonesia.