Bisnis.com, JAKARTA- Konsultan bisnis ritel menilai perubahan regulasi di bidang toko modern tidak berpengartuih langsung terhadap keberlanjutan usaha ritel, termasuk terkait tutupnya convenience store 7-Eleven (Seven Eleven/Sevel).
Christian F. Guswai, Managing Consultant dari Grow & Prosper Retail Consulting menyoroti soal beban sewa lahan yang luas oleh Sevel.
“Convenience store (lain) terkena regulasi sama dan masih survive (bertahan). Artinya pengendalian biaya (mesti) bagus (sehingga) tidak rugi,” kata Guswai saat dihubungi hari ini, Senin (3/7/2017).
Guswai menyoroti gerai Sevel yang membutuhkan lahan jual yang besar.
Hal itu dibutuhkan Sevel, untuk memberikan ruang yang nyaman bagi konsumen yang belanja makanan dan minuman di tokonya sambil kongko dengan rekan.
“Lebih ke cost yang terlalu tinggi. Format Sevel butuh space (lahan jual) besar,” kata Guswai.
Padahal, ujarnya, gerai Sevel di Jepang hanya buruh lahan jual 5mx3m.
Sementara itu, tambahnya, format convenience store lain di dalam negeri bisa menjalankan usahanya dengan lahan seluas 50 meter persegi.
“Format Sevel (bisa seluas) 250 meter persegi. (Artinya) lima kali lipat (dari convenience store yang menjadi pesaingnya di dalam negeri,” kata Guswai.
Dia mengemukakan sebenarnya untuk menjalankan usaha convenience store yang menjual antara lain makanan ringan, makanan cepat saji, minuman, tidak membutuhkan lahan luas
“Tak perlu besar,”kata Guswai.
Seperti diketahui, meski jumlah gerai 7-Eleven terus berkurang dalam dua tahun terakhir, tapi ternyata beban jaringan convenience store itu justru meningkat. Beban sewa pun hanya satu dari sejumlah faktor yang membuat ritel modern tersebut memutuskan berhenti beroperasi.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings mencatat biaya sewa yang ditanggung PT Modern Internasional Tbk. (MDRN) naik 28% pada 2016. Padahal, dalam periode 2015-2016 perseroan sudah menutup sekitar 45 toko dari lebih 185 gerai yang ada.
“Gerai 7-Eleven memiliki pengeluaran sewa yang lebih besar dibandingkan convenience store lainnya karena menawarkan area untuk duduk bagi para konsumennya, sehingga membutuhkan area toko lebih besar,” sebut Fitch dalam laporannya, Minggu (2/7/2017).
Ditambah lagi, sebagian besar gerai Sevel di Jakarta berlokasi di daerah utama yang menerapkan biaya sewa tinggi. Hal ini menjadi risiko tersendiri bagi Modern Internasional jika izin waralabanya berakhir.
Tantangan yang dihadapi Sevel bukan hanya itu. Fitch mengatakan regulasi ritel modern dan bisnis model yang dipilih berkontribusi terhadap keputusan Modern Internasional menghentikan operasional Sevel per 30 Juni 2017.
Menurut Fitch, penutupan sejumlah gerai Sevel secara bertahap mulai 2015 terjadi setelah Kementerian Perdagangan melarang penjualan minuman beralkohol (minol) di ritel modern di minimarket dan convenience store pada April 2015. Padahal, penjualan minol menyumbangkan 15% pendapatan Modern Internasional.
“Hal ini ditambah lagi dengan tidak jelasnya perbedaan antara Sevel yang berupa convenience store dengan rumah makan cepat saji (fast food) dan restoran berukuran medium di Indonesia,” lanjut lembaga itu.
Model bisnis dan risiko yang ditanggung Sevel disebut serupa dengan yang dihadapi restoran karena gerai-gerainya menawarkan makanan dan minuman ready-to-eat lengkap dengan area untuk duduk serta jaringan internet gratis. Akibatnya, Sevel mendapat persaingan ketat dari restoran cepat saji dan warung makan tradisional, yang sangat populer di Indonesia.
Di sisi lain, risiko bisnis ini sangat berbeda dengan minimarket seperti Alfamart dan Indomaret yang menekankan penjualan produk groceries. Dua minimarket ini pun sudah memunyai jaringan yang sangat luas di seluruh Indonesia, sehingga menjadi kekuatan yang tidak dimiliki Sevel.