Bisnis.com, JAKARTA—Dua perusahaan yang berencana mengembangkan industri petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat telah memulai studi kelayakan.
Kedua perusahaan itu, Ferrostaal Indonesia dan Pupuk Indonesia juga membahas mengenai komposisi pembagian saham dalam proyek petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat.
Beberapa waktu lalu keduanya telah menyepakati pembentukan usaha patungan (joint venture) untuk membangun komplek petrokimia berbasis gas di Bintuni. Setelah bankable feasibility study (BFS) ditempuh, Ferrostaal Indonesia dan Pupuk Indonesia juga akan memetakan skema produksi petrokimia di wilayah itu.
Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan setelah proses BSF, baik Ferrostaal maupun Pupuk Indonesia akan mempertimbangkan apakah mengajak pemain lain dalam JV tersebut.
“Ferrostaal belum memutuskan berapa equity yang akan masuk. Misalnya dia minority dan Pupuk Indonesia majority akan dilihat lagi apakah Pupuk Indonesia mampu sendiri? Kalau tidak, harus cari partner yang lain,” jelas Sigit di Kantor Kementerian Perindustrian seusai menerima perwakilan Ferrostaal Indonesia, Rabu (21/6/2017).
Sigit sebelumnya menyebutkan pemerintah memberikan kekuasaan penuh pada Pupuk Indonesia untuk dapat menarik perusahaan lain bekerja sama menjadi industri anchor di kawasan Teluk Bintuni. Sejauh ini, untuk industri hulu, baru Ferrostaal yang menyatakan siap melakukan JV.
Dari informasi awal yang diterima Kemenperin, Ferrostaal menyiapkan investasi hingga US$2,8 miliar atau mencapai Rp37,2 triliun. Saat dihubungi Bisnis, pihak Pupuk Indonesia menyebutkan masih mengkaji jumlah investasi di Teluk Bintuni.
Saat ini, produsen petrokimia terbesar di Asia Tenggara adalah Thailand dengan kapasitas produksi mencapai 5 juta etilena per tahun, sedangkan Indonesia melalui PT Chandra Asri Petrochemical hanya menghasilkan 860.000 ton etilena per tahun.
Thailand menetapkan harga gas di kisaran US$3 per MMBtu untuk mendorong kinerja sektor petrokimianya. Hal tersebut membuat impor produk petrokimia Tanah Air rata-rata mencapai US$10 miliar setiap tahun. Produk petrokimia digunakan oleh berbagai industri lain, sehingga pemerintah terus mendorong investasi pabrik di sektor tersebut.
Prospek pengembangan industri petrokimia berbasis gas bisa menjadi langkah strategis mengingat Indonesia memiliki sejumlah titik cadangan gas abadi. Sumber gas potensial itu berada di tiga wilayah, yaitu di Masela Maluku, Bintuni Papua Barat, dan Donggi Senoro Sulawesi Tengah.