Bisnis.com, JAKARTA— Sekitar 70 negara di seluruh dunia sepakat untuk meluncurkan konvensi pajak internasional baru, untuk mencegah praktik treaty shopping yang dilakukan oleh perusahaan multinasional.
Kesepakatan itu diraih setelah menteri-menteri dari sejumlah negara besar menandatangani pakta perjanjian pajak baru, yang diprakarsai oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) di Paris, pada Rabu (7/6/20170) waktu setempat. OECD sendiri mengatakan, akan ada lebih banyak negara lain yang akan ikut dalam konvensi tersebut selama beberapa pekan ke depan.
"Pakta perjanjian pajak internasional yang baru ini akan membunuh segala prkatik treaty shopping," kata Direktur Kebijakan pajak OECD Pascal Saint-Amans, seperti dikutip dari Reuters (8/6/2017).
Perjanjian baru tersebut akan menggantikan lebih dari 1.100 perjanjian perpajakan bilateral, atau sekitar sepertiga dari perjanjian yang ditandatangani oleh negara-negara selama satu abad terakhir untuk menghindari pajak berganda (tax treatty).
Seperti diketahui, treaty shopping merupakan praktik yang dilakukan oleh wajib pajak suatu negara yang tidak memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda. Wajib pajak yang biasanya berupa korporasi multinasional itu lalu mendirikan dan melakukan aktivitas investasi di anak perusahaan di negara yang mengadopsi sistem tax treaty.
Praktik tersebut sering disebut sebagai salah satu bentuk penghindaran pajak melalui transaksi lintas batas. Pasalnya, korporasi yang melakukan tindakan tersebut biasanya akan menikmati tarif pajak yang lebih rendah di negara yang memberlakukan tax treatty.
Adapun, perjanjian baru ini akan menetapkan standar minimum untuk menghindari penyalahgunaan dan pendefinisian penghasilan kena pajak dari perusahaan di suatu negara. Selain itu, perjanjian ini juga akan menjadi awal dari program internasional yang akan menyelesaikan perselisihan pajak berganda antarnegara.
Selain itu, berdasarkan pakta baru tersebut, setiap negara harus menyatakan ketentuan mana yang akan mereka berlakukan dan mana yang tidak mereka terapkan. Setiap negara akan diberi kesempatan selama beberapa pekan ke depan untuk menetapkan kebijakan dan posisinya terhadap wajib pajak.
"Pakta ini perlu diperhatikan oleh perusahaan di seluruh dunia. Sebab pakta ini akan memiliki konsekuensi pajak yang sangat signifikan bagi wajib pajak," kata Jesse Eggert, dari KPMG.
Tercatat, negara yang telah melakukan penandatanganan berasal dari negara-negara ekonomi utama dunia dan pengadopsi tax treatty seperti Belanda, Belgia, Seychelles, dan Singapura.
Selain itu, Mauritius yang selama ini sering digunakan sebagai tempat menghindari pajak dari India karena tarif pajaknya yang rendah, juga memberi isyarat bahwa akan masuk dalam beberapa bulan mendatang.
Salah satu hal yang mencuri perhatian dalam proses penandatanganan pakta tersebut adalah tidak ikut sertanya AS. Namun, Saint-Amans mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi perhatian besar karena perjanjian pajak bilateral AS dinilai memiliki kualitas tinggi.
Berdasarkan data OECD, pemerintah di seluruh dunia diperkirakan telah kehilangan pendapatan pajak senilai US$250 miliar per tahun atau 10% dari pendapatan pajak perusahaan global, akibat praktik penghindaran pajak.