Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APTRI Gugat Peraturan Soal Fasilitas Memperoleh Bahan Baku Gula

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia menggugat Surat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10/M-IND/PER/3/2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula.
Buruh perkebunan tebu beraktivitas dengan latar belakang Gunung Raung di Desa Sumber Arum, Songgon, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (11/7). Meskipun Gunung Raung berstatus Siaga, petani tebu di daerah tersebut masih melakukan aktivitas seperti biasa karena masih berada di jarak aman yang di tetapkan yaitu 3 kilometer dari puncak gunung. /ANTARA
Buruh perkebunan tebu beraktivitas dengan latar belakang Gunung Raung di Desa Sumber Arum, Songgon, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (11/7). Meskipun Gunung Raung berstatus Siaga, petani tebu di daerah tersebut masih melakukan aktivitas seperti biasa karena masih berada di jarak aman yang di tetapkan yaitu 3 kilometer dari puncak gunung. /ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia menggugat Surat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10/M-IND/PER/3/2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula.

"Peraturan tersebut terindikasi hanya sebagai kedok agar bisa mendapatkan izin impor gula mentah," kata Ketua Umum Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat APTRI Arum Sabil, dalam siaran pers yang dilansir Sabtu (13/5/2017).

Hal itu diungkapkannya saat pembukaan Rapat Kerja Nasional APTRI di Aula Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, di Kota Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (12/5/2017).

Hadir dalam pembukaan ini adalah Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang, Wali Kota Pasuruan, para direktur utama PT Perkebunan Nusantara X, XI, dan XII, PT RNI, PT Kebon Agung, dan general manager pabrik gula seluruh Indonesia. 

Arum menyebut peraturan tersebut adalah bentuk penerjamahan yang salah dari kebijakan presiden yang ingin menyelamatkan konsumen sekaligus melindungi petani dan industri gula dalam negeri. "Tujuan presiden sangat mulia. Bagaimana pangan bisa dijangkau masyarakat," katanya.

Oleh sebab itu, Arum meminta agar kebijakan yang dikeluarkan Menteri Perindustrian ini menjadi bagian dari agenda pembahasan Rakernas. "Kalau perlu melakukan gugatan ke Mahkamah Agung," katanya.

Menurut Arum, kebijakan menteri itu berdampak buruk terhadap petani tebu. "Tentunya kita akan menjerit, meronta, dan melawan," katanya.

Arum menambahkan bijakan tersebut membuka peluang kepada pabrik gula baru mengimpor gula mentah selama tujuh tahun untuk menutupi kebutuhan bahan baku tebu. 

"Ini sebenarnya bukan kebijakan yang adil. Ini kebijakan yang merupakan mesin pembunuh petani tebu dan industri gula dalam negeri," katanya.

"Di balik kebijakan yang terlihat arif dan bijaksana, sebenarnya hanya kedok kebijakan ekonomi yang mengarah kepada kejahatan kemanusiaan. Kalau sampai ini diloloskan dan kita biarkan, maka akan berdiri pabrik-pabrik gula baru yang hanya sebagai kedok melakukan impor gula mentah," kata Arum.

Arum menyetujui pabrik gula baru, asalkan mengolah tebu yang ditanam di dalam negeri. "Rakernas ini momentum bagus untuk melakukan komunikasi intensif dan memberikan masukan yang jelas kepada pemerintah. APTRI ingin menjadi mitra yang baik dan menjadi bagian dari perjuangan di negeri tercinta ini," katanya.

Pernyataan Arum ini beriringan dengan tema rakernas yang digelar pada 12-13 Mei 2017, yakni Optimalisasi Sinergi Menuju Swasembada Gula yang Berdaya Saing Demi Terwujudnya Petani Tebu yang Sejahtera. Rakernas diikuti 600 petani tebu seluruh Indonesia.

Ketua Umum APTRI Abdul Wahid mengecam kebijakan itu. "Ini akan membunuh industri gula dalam negeri. Mereka membangun industri gula yang dapat izin impor raw sugar selama lima tahun di Jawa dan tujuh tahun di luar Jawa. Tiga tahun saja sudah selesai, pabrik itu tidak usah dilanjutkan sudah untung," katanya. 

Wahid meminta agar pabrik gula segera direvitalisasi. Ini merupakan solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri daripada mengutamakan impor gula mentah. Komisi VI DPR RI sudah memberikan anggaran Rp3 triliun untuk revitalisasi pada 2015. Namun ternyata hingga tahun ini belum selesai. "Berjalan lambat," katanya.

Wahid juga mendesak agar gula rafinasi tetap untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, dan tidak dijual bebas.

"Industri pabrik gula rafinasi direct langsung ke industri makanan dan minuman. Jadi pemerintah akan tahu berapa kebutuhan gula rafinasi untuk industri. Bukan untuk kapasitas terpasang industri gula rafinasi, yang diinformasikan sampai 5 juta ton. Padahal kebutuhan industri gula rafinasi hanya tiga juta ton," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper