Bisnis.com, PALEMBANG - Center for International Forestry Research menilai perpanjangan moratorium izin hutan primer dan lahan gambut masih diperlukan guna memperbaiki tata kelola sumber daya berbasis lahan.
Inpres No. 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut akan berakhir pada 13 Mei 2017. Beleid ini sendiri merupakan perpanjangan ketiga sejak moratorium dimulai pada 2011.
Peneliti Center for International Forestry Research (Cifor) Herry Purnomo mengatakan saat ini pemberian izin baru di lahan gambut praktis disetop (moratorium permanen), khususnya untuk kegiatan usaha monokultur. Hal ini menyusul ketatnya ketentuan dalam PP No. 57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Sebaliknya, belum ada payung hukum setingkat PP yang mengatur moratorium izin hutan alam primer. Padahal, hutan primer masih perlu dipertahankan agar tidak dialihfungsi untuk kegiatan produksi kehutanan maupun dikonversi buat perkebunan.
“PP memang lebih kuat dari Inpres yang pelaksanaannya tidak jelas. Tapi karena PP 57/2016 hanya soal gambut, tidak mencakup hutan primer, lebih baik Inpres 8/2015 diperpanjang,” katanya dalam diskusi Forestry for Sustainable Future di Palembang, Sumatra Selatan, pada Jumat (5/5/2017).
Selain itu, Herry menilai Inpres 8/2015 memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh PP 57/2016. Pasalnya, beleid itu memuat diktum mengenai penetapan peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan demikian, lahan gambut yang tidak boleh dibebani izin menjadi lebih jelas.
Di sisi lain, Guru Besar Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga mendorong pemerintah tetap menerbitkan moratorium izin perkebunan kelapa sawit. Apalagi, draf inpres mengenai penundaan izin kelapa sawit sudah final dan tinggal diteken Presiden Joko Widodo.