Bisnis.com, PEKANBARU – Akademisi Riau meminta Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut agar diperjelas dalam petunjuk teknis yang rinci sehingga dapat memberikan kepastian kepada masyarakat yang selama ini berusaha di lahan gambut.
Peneliti Ekonomi Pedesaan Universitas Riau Almasdi Syahza yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) itu mengatakan penerapan PP 57/2016 bisa berdampak baik atau buruk bergantung kepada aturan teknis nantinya.
"Pemerintah harus perjelas bagaimana implementasinya di lapangan, jangan sampai masyarakat kecil yang memiliki kebun di kawasan gambut menjadi kian sulit," katanya saat Workshop Nasional dengan tema Implementasi Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosisitem Gambut di Pekanbaru Rabu (3/5).
Dia menilai aturan teknis itu perlu segera dikeluarkan sehingga pemilik kebun di atas lahan gambut yang masuk dalam peta Hutan Lindung, bisa segera mencari solusi atas kebun yang sudah ada itu.
Bila petunjuk yang dikeluarkan itu jelas, kerugian yang bisa diakibatkan dari aturan ini dapat dikurangi dengan mencari solusi, seperti mencari tanaman pengganti yang cocok di ekosistem gambut.
Selain itu, untuk perusahaan juga membutuhkan kepastian soal penerapan PP ini karena bila tidak, bakal dimanfaatkan oleh oknum tertentu sebagai celah melaporkan perusahaan ke jalur hukum.
"Solusinya itu supaya risiko kerugian bagi masyarakat dan perusahaan tidak terlalu besar setelah penerapan PP gambut ini," katanya.
Ketua Bidang Sosial dan Lingkungan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bambang Widyantoro mengatakan PP 57/2016 bisa mengganggu keberlanjutan operasional dan produksi hasil hutan khususnya di kawasan gambut.
"Pengusaha dalam berinvestasi tentu ingin ada tiga hal yaitu kepastian hukum, kepastian investasi, dan keamanan keguatan usaha, tetapi PP 57/2016 membuat semuanya menjadi tidak pasti," katanya.
Menurut data APHI, saat ini total lahan yang diperuntukkan bagi Hutan Tanaman Industri mencapai 10,7 juta hektare dengan pemegang izin mencapai 100 perusahaan. Dari total luasan itu, 2,9 juta hektare berada di kawasan gambut.
Provinsi Riau menjadi wilayah dengan area HTI di gambut paling luas mencapai 1,2 juta hektare, disusul Sumatra Selatan, lalu Kalimantan Barat.
Bambang mengatakan dengan aturan baru ini bakal terjadi perubahan besar dari segi produksi HTI.
"Kalau melihat di Malaysia, pemerintah dan dunia usaha bisa bersama-sama mencari jalan keluar mengelola gambut, Indonesia harus bisa dan jangan kalah," katanya.
Adapun menurut data LPPM Universitas Riau, luas kawasan hidrologis gambut di wilayah itu mencapai 5 juta hektare, dengan peruntukan fungsi lindung seluas 2,2 juta hektare, dan fungsi budidaya 2,78 juta hektare.