Bisnis.com, MANADO – Asosiasi Unit Pengolahan Ikan (UPI) melansir tingkat utilitas pabrik di Bitung, Sulawesi Utara (Sulut) kian mendekati titik nadir akibat kekurangan bahan baku.
Pasokan bahan baku terus merosot sejak alih muat atau transhipment dilarang di akhir 2014. Relaksasi yang diberikan pun dinilai tak kunjung memperbaiki keadaan.
Basmi Said, Ketua Asosiasi UPI Kota Bitung, mengatakan tingkat utilitas pabrik pengolahan ikan di Bitung per Maret 2017 hanya mencapai 62 ton per hari atau 4,38% dari kapasitas terpasang sebesar 1.414 ton per hari.
Dikatakan, sebanyak 60% dari bahan baku yang diproduksi pabrik bahkan dipasok dari luar Bitung.
“Kami sangat kekurangan bahan baku. Dari tujuh pabrik pengalengan ikan di Bitung, saat ini hanya dua yang beroperasi,” jelas Basmi kepada Bisnis.com di Bitung, Kamis (27/4/2017).
Menurut Basmi jumlah unit pengolahan ikan di Bitung mencapai 53 pabrik yang terdiri dari 7 unit pengalengan ikan dan 5 unit pengolahan ikan kayu. Selain itu juga terdapat 12 unit pengolahan tuna segar dan 29 unit pembekuan atau cold storage.
Baca Juga
Asosiasi UPI Bitung mencatat, setahun pascapelarangan alih muat, utilitas pabrik pengolahan langsung merosot ke level 17,7% atau 250 ton per hari.
Utilitas pabrik yang menyusut dalam dua tahun terakhir menyebabkan penurunan tenaga kerja.
Basmi menerangkan, pada 2014, unit pengolahan ikan di Bitung masih mempekerjakan 12.848 karyawan dan per Maret 2017 tinggal tersisa sekitar 2.000 pekerja. Dengan kata lain, penurunan tenaga kerja diestimasi mencapai 84%.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP) telah melarang kegiatan alih muat di laut sejak November 2014. Dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 Tahun 2014, baik kapal penangkap maupun kapal pengangkut ikan harus mendaratkan hasi tangakapan di pelabuhan dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Perusahaan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Pelanggaran terhadap ketentuan ini bisa berujung pada sanksi pencabutan izin.
Kelonggaran
Basmi mengakui, KKP memang telah memberikan kelonggaran terhadap beleid alih muat. Namun, relaksasi yang diberikan dinilai tidak rileks. Pasalnya, syarat yang ditentukan memberatkan pelaku usaha.
Dia mencontohkan, armada perikanan harus dilengkapi sistem pemantauan kapal, kamera pemantau, dan menempatkan pemantau atau observer dari pihak ketiga.
"Relakasi mungkin bisa menaikan produksi. Tapi cost semakin tinggi. Apakah kapak penangkap mampu? Jadi kami minta fleksibilitas," jelas Basmi.
Secara terpisah, Ronald Sorongan, Kepala Dinas Perikanan & Kelautan Sulawesi Utara, mengatakan relaksasi alih muat yang tidak longgar menyebabkan UPI terbebani biaya tinggi. Kondisi ini membuat lunglai industri perikanan di Bitung.
"Di sini ada juga trader, mereka tangkap di sini tapi kirim ke Muara Baru. Perusahaan di sini beli ikan ke Muara Baru, balik lagi jadi biaya tinggi kan," jelasnya.
Dia menambahkan, produksi ikan nelayan kecil di sisi lain memang mengalami peningkatan. Namun, pasokan dari nelayan kecil tidak bisa memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan. Pasalnya, ukuran dan mutu produksi ikan nelaya kecil tidak sesuai dengan standard pabrikan.
Ronald mengusulkan pemantauan praktik alih muat bisa dipantau lewat pemeriksaan palkah kapal sebelum dan sesudah melaut.