Bisnis.com, JAKARTA—Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mendesak pemerintah untuk mendorong industri substitusi impor, guna mendongkrak ekonomi lokal dan menaikkan porsi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di industri listrik nasional.
"Sebenarnya payung besar dari industri peralatan listrik nasional ada di industri substitusi impor nasional. Industri inilah yang perlu didorong agar ketergantungan kita pada impor peralatan listrik dapat ditekan,” ujar Sekretaris Jenderal APLSI Priamanaya Djan, Jumat (28/4/2017).
Dia berpendapat perhatian kepada pengembangan industri substitusi impor masih sangat kurang sejak krisis ekonomi 1998. Padahal, potensi pasarnya di dalam negeri sangat besar dan masih dinikmati industri diluar negeri.
“Misalnya, industri peralatan listrik ini pasarnya besar dan sudah jelas ada proyek 35ribu megawatt [MW]. Namun, pasar yang besar ini hanya dinikmati oleh industri peralatan listrik negara lain,” ungkap Priamanaya.
Dia mencontohkan di proyek 35.000 MW terdapat investasi lebih dari Rp1.000 triliun yang berarti memiliki nilai pasar yang sangat besar. Selain industri konstruksi, semestinya industri substitusi impor peralatan listrik yang dapat menikmati pasar tersebut.
Tak hanya itu, permintaan listrik nasional akan terus tumbuh pesat sehingga permintaan peralatan listrik tidak akan perna menurun. “Perekonomian tumbuh positif tiap tahun, permintaan listrik tiap tahun bertambah sekitar 5.000 sampai 7.000 MW, sejauh ini kebanyakan pasarnya diisi oleh impor,” tegasnya.
Menurut Priamanaya, dalam proyek 35.000 MW dibutuhkan transmisi sepanjang 46.000 kilometer atau selingkaran planet bumi. Sejak diluncurkan 2015, pembangunan transmisi menyerap anggaran sebesar Rp 200 triliun untuk lima tahun. ”Itu termasuk gardu induk, tower, dan konstruksinya.”
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia pada Januari 2017 sebesar US$11,99 miliar. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 14,54% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kepala BPS Shariyanto menjelaskan impor yang paling besar lebih kepada kebutuhan peralatan mekanik, seperti impor mesin dan pesawat mekanik yang mencapai US$1,74 miliar dan mesin peralatan listrik yang mencapai US$1,36 miliar. Sehingga impor nonmigas mengalami kenaikan 10,24%.
Priamayana mengatakan kebijakan industri substitusi impor dapat mendorong TKDN diberbagai proyek pembangunan infrastruktur listrik pemerintah, utamanya untuk transmisi proyek 35.000 MW.
“Ada kebijakan TKDN, tapi juga perlu didorong industri substitusi impornya agar barang-barang penggantinya ada dan tersedia di dalam negeri,” pungkasnya.
Dia menambahkan pengembangan industri substitusi impor peralatan listrik ini sangat realistis sebab teknologi konstruksi baja dan sebagainya sudah cukup dikuasai oleh tenaga ahli di dalam negeri.
“Kelemahan kita masih disoal turbin dan sedikit diboiler. Jadi, pembangkitnya dari luar tapi kita kejar TKDN di transmisi atau di sutet itu dalam negeri saja,” ucapnya. Saat ini TKDN di transmisi mencapai lebih dari 60%. Namun, TKDN ini perlu digenjot lagi secara maksimal sekaligus mendorong industri baja nasional.