Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pelaku usaha industri hulu tekstil dan produk tekstil menunggu kebijakan pembatasan impor tekstil dari pemerintah. Keputusan ini menentukan apakah pebisnis akan menambah kapasitas atau sebaliknya, mengurangi produksi.
Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan komposisi produk barang jadi tekstil yang kian besar di pasar domestik membuat pelaku usaha hulu was-was untuk mengembangkan usaha.
“Kinerja sangat tergantung kebijakan itu [pembatasan impor]. Kalau pemerintah bisa meyakinkan industri bahwa kebijakan ini benar-benar jalan, maka industri akan menaikkan produksinya. Industri menunggu domestic demand naik,” kata Redma di Jakarta, Kamis (27/4).
Redma menjelaskan kenaikan permintaan justru ditangkap oleh produk impor. Meski mengimpor produk jadi, industri hulu ikut terpukul karena produsen hilir lokal juga mengurangi produksi.
Menurut Redma, impor seharusnya dibatasi hanya untuk produsen yang mengekspor seluruh produknya karena harga impor yang memang lebih murah. Untuk pasar lokal, impor bahan baku sebaiknya ditutup sehingga produksi hulu lokal dapat terserap dengan baik.
Dari catatan APSyFI, permintaan produk jadi tekstil pada bulan puasa hingga lebaran biasanya naik hingga 2,5 kali lipat. Jika impor TPT tidak dibatasi, industri hulu tidak dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kue permintaan domestik akan diambil alih produk impor.
“Kalau konsumsi lokal, garmennya ya dijahit di sini dengan kain dan benang dari lokal. Jadi supply chain benar-benar dinikmati industri di dalam negeri. Kalau untuk ekspor, silakan impor benang dan kain, tapi garmennya diekspor lagi,” katanya.
Pada kesempatan terpisah, Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono membenarkan industri hulu TPT terpukul oleh produk impor yang membanjiri pasar. Oleh karena itu, koordinasi Kemenperin, Kementerian Perdagangan, dan Ditjen Bea Cukai akan diperkuat.
“Sekarang semua pemilik IP [importir produsen] bisa impor. Tapi ada yang impor kainnya 20 kali lipat dari kapasitas mesinnya. Itu ke mana barangnya? Pasti dijual. Harusnya tidak boleh diperjualbelikan lagi. Ini yang Kemenperin, Bea Cukai, dan Kemendag ingin kendalikan,” jelas Sigit.
Menurut Sigit, pemantauan impor produk hulu-hilir TPT saat ini sebenarnya lebih sederhana karena pemerintah memiliki data kapasitas terpasang setiap pabrik. Izin impor akan disesuaikan dengan kapasitas maksimum pabrik tersebut. Sigit mencatat selama kuartal pertama, ada 120 industri tekstil yang telah mengajukan impor serat, benang, dan kain untuk dijadikan pakaian jadi.