Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan produsen serat tekstil mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengatur impor tekstil. Maraknya impor tekstil dan produk tekstil dipandang sebagai biang kerok yang menyebabkan kinerja industri tersebut terus turun dalam 5 tahun terakhir.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyebut saat ini kain impor menguasai nyaris 40% pangsa pasar domestik, naik dari tahun 2013 yang tercatat sebesar 30%.
Hal tesebut membuat banyak industri tengah seperti penenunan, pemintalan, dan perajutan memutuskan mengurangi produksinya, bahkan menghentikan operasionalnya. Saat ini, utilisasi produksi kain hanya 52,6%.
“Persoalan utamanya adalah daya saing, sebagai akibat dari beban biaya produksi yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara pesaing. Beban biaya produksi malah naik,” jelas Redma di Jakarta, Kamis (27/4).
Berdasarkan catatan APSyFI, nilai konsumsi garmen dan barang jadi tekstil pada 2016 mencapai US$14,9 miliar, naik tipis dari tahun sebelumnya US$14,6 miliar. Kendati demikian, porsi penjualan produk dalam negeri merosot menjadi 75%, dari 2013 yang mencapai 86%. “Artinya sudah lama pasar domestik digerogoti produk impor,” jelas Redma.
Dia mengatakan pasar domestik negara lain justru menjadi jaminan bagi produk industri lokalnya. Negara-negara dengan pasar besar seperti China, India, Turki, dan Brasil, dinilai sangat melindungi pasar lokal untuk memajukan industri tekstilnya.
Di sisi lain, pemerintah kerap menyebut industri tekstil di Indonesia telah terintegrasi antara hulu dan hilir. Menurut Redma, pemerintah dapat membolehkan impor, tetapi hanya untuk industri yang berorientasi ekspor, bukan industri yang memasarkan produknya di dalam negeri.