Bisnis.com, JAKARTA—Ketua Umum Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Bambang Britono mengatakan sejak pemerintah mulai membatasi saluran distribusi minuman beralkohol pada 2015, penjualan industri mulai anjlok.
Bambang menyebut pembahasan substansi dan judul beleid RUU minuman beralkohol yang masih menggantung membuat industri maju-mundur, sehingga belum ada rencana strategis untuk dapat menumbuhkan skala usaha.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, jika dilihat dari jumlah cukai yang disetorkan ke negara, volume minuman beralkohol yang dijual pada 2016 yaitu 282 juta liter, naik dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 248,1 juta liter.
Produksi pada 2015 tersebut turun signifikan dari tahun 2014 yang tercatat sebesar 311 juta liter. Padahal, berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, ada 106 perusahaan pemegang izin produksi minuman beralkohol dengan kapasitas per tahun mencapai 450 juta liter.
Bambang menyebut dengan pelarangan distribusi ke minimarket dan saluran pengecer lain yang tercantum dalam Permendag 6/2015, channel penjualan industri minuman beralkohol hilang signifikan.
“Dari minimarket saja, kami menjual 10%—12%, belum lagi dari saluran pengecer lain yang di Permendag itu tidak dijelaskan apa jenisnya. Sekarang kami hanya menjual melalui kafe, hotel dan restoran. Itu juga mereka harus punya izin tertentu,” jelas Bambang.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin Willem Petrus Riwu mengatakan RUU minuman beralkohol harus disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara investasi yang sudah ada dan kemungkinan penyalahgunaan produk tersebut.
Menurutnya, substansi yang telah disusun dalam RUU tersebut sudah tepat dalam hal pengendalian dan pelarangan untuk kriteria konsumen tertentu. “Investasi yang sudah ada tentu tidak bisa disudahi begitu saja,” jelasnya.
Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan pelarangan total terhadap peredaran minuman beralkohol berisiko terhadap kesehatan publik karena mendorong perederan minuman keras ilegal dan aktivitas kriminal.
Data CIPS menunjukkan faktor harga membuat volume konsumsi miras oplosan di Indonesia lima kali lebih banyak dibandingkan volume konsumsi miras legal.
Penelitian yang sama menunjukkan korelasi positif antara jumlah korban tewas dan terluka akibat miras oplosan dengan pembatasan distribusi minuman mengandung etil alkohol.
CIPS menyatakan ada 106 orang korban miras oplosan dari 7 kabupaten/kota yang tidak melarang peredaran minuman beralkohol.
Adapun 192 korban terdata dari 12 kabupaten/kota yang memiliki aturan larangan parsial dan 331 korban di 11 kabupaten/kota yang memiliki aturan larangan total.