Bisnis.com, WASHINGTON DC -- International Monetary Fund (IMF) menilai industri keuangan khususnya perbankan di negara berkembang masih rentan terdampak ketidakpastian ekonomi global.
"Memang ada progres yang baik di negara berkembang, tetapi kerentanan masih ada, khususnya dampak dari kondisi perekonomian negara bekembang," ujar Tobias Adrian, Konselor Finansial/Direktur Moneter Capital Markets Department IMF saat memaparkan Global Financial Stability Report di Washington D.C., Rabu (19/4/2017).
Indikasinya, taper tantrum pada 2013 yang memicu kenaikan tajam suku bunga di Amerika Serikat telah membuat negara berkembang kerepotan.
Menurutnya, ketidakpastian politik dan kebijakan di negara maju bisa berdampak negatif. Potensi capital outflow juga semakin besar lantaran berubahnya sentimen pasar.
Bahkan, IMF memperkirakan utang sektor korporasi kecil yang berisiko tinggi di negara berkembang bisa menembus US$230 miliar. Hal itu menjadi sinyal bagi perbankan, khususnya bank kecil, untuk lebih waspada menjaga kualitas aset dan menyiapkan pencadangan yang cukup untuk menghadapi risiko kredit bermasalah.
Tobias mengatakan pemerintah dan otoritas sektor keuangan di negara berkembang harus memastikan sektor perbankan memiliki penyangga yang cukup, sembari memperbaiki mekanisme restrukturisasi sektor korporasi serta memantau sumber-sumber kerentanan.
Tak hanya negara berkembang, The Fund juga menyatakan lonjakan kredit di China yang mencapai 200% hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun bisa sangat berbahaya. Menurut IMF, upaya pemerintah China untuk meredam pertumbuhan kredit perbankan,serta antisipasi praktik shadow banking perlu ditingkatkan.
“Kesuksesan otoritas [di China] sangat penting bagi stabilitas keuangan global,” kata Tobias.