Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah urung mengumumkan paket Kebijakan Ekonomi ke XV yang mengatur soal logistik, lantaran terkendala regulasi di tingkat kementerian dan lembaga terkait.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memaparkan, ada sekitar 17 peraturan yang direncanakan sebagai payung kebijakan tersebut, namun belasan regulasi itu belum tuntas pembahasannya di tingkat kementerian.
“Saya tidak mau mengumumkannya, karena peraturannya belum selesai, tetapi itu bukan kendala, belum tuntas saja kementerian masing-masing," ucap Darmin di Jakarta.
Paket kebijakan XV yang mengatur soal logistik tersebut direncanakan untuk mengatasi kendala logistik yang menyebabkan sejumlah persoalan terkait investasi, inflasi, hingga distribusi komoditas.
Awalnya pemerintah ingin mengumumkan paket kebijakan pada tanggal 21 Maret, namun urung dilakukan lantaran sejumlah kendala.
Edy Putra Irawady, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomian menambahkan, tertundanya paket kebijakan tersebut terjadi lantaran perbedaan mekanisme penyusunan paket dengan pemerintahan terdahulu.
Menurutnya, jika dulu pemerintah menyiapkan regulasi terlebih dahulu kemudian baru menyusun paket kebijakan atau menggunakan Instruksi Presiden atau Inpres untuk mengikat paket tersebut.
Saat ini proses pembahasan paket kebijakan dilakukan dengan mengemukakan substansinya terlebih dahulu, kemudian menyusun regulasi yang digunakan menopang kebijakan tersebut.
Adapun, kata dia, terkait paket kebijakan ke XV, setidaknya ada sekitar 17 regulasi belum semuanya rampung. Salah satu yang sudah hampir selesai yakni draft Peraturan Presiden (Perpres) soal Indonesia Nasitional Single Window atau INSW.
“Draftnya sudah siap, tujuannya untuk deregulasi, sehingga kebijakan tarif yang dilakukan 15 instansi nantinya harus direview dulu oleh INSW,” ucapnya.
Paket kebijakan tersebut,kata dia, tujuannya adalah untuk memberi pasar ke perusahaan logistik nasional. Langkah itu ditempuh, pasalnya hampir 57% pasar logistik dikuasai asing.
Implikasi dari kondisi tersebut yakni 40% harga barang merupakan biaya logistik. Mahalnya biaya logistik tersebut itu kemudian berimbas pada naiknya angka inflasi.
"Logistik kita kan rusak, konektivitas tidak terbangun, biaya logistik termahal di kawasan, pelaku logistik ikutan gak leading hanya jadi agen. tidak ada peta mengenai transportasi barang," imbuhnya.
Dia juga menambahkan, selain memicu inflasi, persoalan lain yang bisa diatasi dengan implementasi kebijakan tersebut adalah menambal sejumlah celah ekspor dan impor yang selama ini ditengarai kerap merugikan negara.
Mereka mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ada sekitar US$8,6 miliar nilai ekspor sumber daya alam yang tak tercatat oleh pemerintah.
Kendati demikian, dia mengaku belum tahu kapan implementasi kebijakan tersebut diimplementasikan. Pasalnya untuk mengejar regulasi yang belum selesai dibutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Secara terpisah Bhima Yudhistira, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan, tertundanya paket kebijakan menunjukkan pemerintah sebenarnya kurang siap dengan paket kebijakan tersebut.